INTERAKSI
ANTIDIABETIK ORAL
I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat
resistensi insulin maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai
normal).
Insulin adalah
suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar
glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut kemudian dipergunakan
sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin tidak
memadai, atau jika insulin tersebut cacat , maka glukosa tidak dapat memasuki
sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar.
Penyakit
diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan
merupakan salah satu faktor penyebab. Selain keturunan masih diperlukan
faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus
tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres, makan obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar gula darah dan sebagainya.
Gejala penyakit
kencing manis sangat bervariasi, dapat timbul secara perlahan-lahan hingga
penderita tidak menyadari terdapatnya perubahan dan baru dapat ditemukan pada
saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Tetapi
gejala-gejala diabetes dapat juga timbul mendadak secara dramatis sekali.
Gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada penderita kencing manis adalah
sebagai berikut:rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada malam
hari, berat badan turun dengan cepat, cepat merasa lapar,timbul kelemahan
tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi
kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh dan keputihan.
II. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Klasifikasi
diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.
Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset).
Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan
yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai
“adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi,
sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun,
yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya. Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes
Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa
dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau
Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya.
British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential
Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical
Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali
mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965
WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood
Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics.
Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat
rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe
utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada
tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan
terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO
selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua
tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini
WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain,
Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan
Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada
revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes
yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related
Diabetes Mellitus (MRDM).
Klasifkasi ini
akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM
(Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi
insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Berdasarkan Etiologinya (ADA,
2003)
1
|
Diabetes
Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi
insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
|
2
|
Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama
resistensi insulin
|
3
|
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12,
HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7,
glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20,
HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA
mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
•
Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic
Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati
fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3.
Feokromositoma
4.
Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon
tiroid, asam
nikotinat,
pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter,
Turner, Huntington,
Chorea, Prader
Willi
|
4
|
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya
bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
|
5
|
Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa
Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT
(Toleransi Glukosa
Terganggu)
|
|
III. ETIOLOGI
dan PATOFISIOLOGI
A. Diabetes
Mellitus Tipe 1
Diabetes
tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada
beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan
antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).
ICCA
merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90%
penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh
non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA
merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik
untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel
lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau
Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan
sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan
sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan
otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang
menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih
merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama
makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen
permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar
80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun
sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA.
Otoantibodi
terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien
yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya
ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan
dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor
kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga
otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang
sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody).
IAA
ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah
dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi
otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga
menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang
berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans.
Secara
normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam
keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan
terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan
terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia.
Hal
ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada
penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi
sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita
yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat
menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari
lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa.
Asam
lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan
perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi
insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel
sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati
dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian
besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes
Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,
tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup
besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan
merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan
tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab
terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM
Tipe 2.
Berbeda
dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap
awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada
penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan
sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi
insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah
stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar
glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin.
Berdasarkan
uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
a.Kelompok yang
hasil uji toleransi glukosanya normal
b.Kelompok
yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c.Kelompok
yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa <
140 mg/dl)
d.Kelompok yang
menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes
Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat
pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk
terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain
malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan
meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah
menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes
di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko
tersebut.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes
adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal
dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup
banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong
pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun
2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup
tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi pra-diabetes
merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila
tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi
diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan
olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.
Ada dua tipe
kondisi pra-diabetes, yaitu:
Impaired
Fasting Glucose (IFG),
yaitu keadaan
dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa
darah puasa normal: <100 mg/dl), atau
Impaired
Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa
darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi
tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes.
IV. PENGGOLONGAN ANTIDIABETIK ORAL/HIPOGLIKEMIK
ORAL
Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5
golongan, yaitu:
1.
Golongan Sulfonilurea
Bekerja dengan
cara merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel
beta pankreas masih dapat berproduksi. Terdapat beberapa jenis sulfonilurea
yang tidak terlalu berbeda dalam efektivitasnya. Perbedaan terletak pada
farmakokinetik dan lama kerja. Termasuk dalam golongan ini adalah:
Klorpropamid, Glikazid, Glibenklamid, Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim
dan Tolbutamid.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
penggunaan obat golongan ini :
a. Golongan sulfonil
urea cenderung meningkatkan berat badan.
b. Penggunaannya
harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal.
Klorpropamid dan glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan
pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal dapat digunakan
glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang kerjanya singkat.
c. Wanita menyusui,
porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi pemberian sulfonilurea.
d. Insulin
kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan patologis tertentu seperti infark
miokard, infeksi, koma dan trauma. Insulin juga diperlukan pada keadaan
kehamilan.
e. Efek samping,
umumnya ringan dan frekuensinya rendah diantaranya gejala saluran cerna dan
sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia, agrunolositosis dan
anemia aplastik dapat terjadi tetapi jarang sekali. Hipoglikemi dapat terjadi
bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati/ginjal atau pada orang usia lanjut. Hipoglikemia sering ditimbulkan oleh
ADO kerja lama.
f. Interaksi, banyak
obat yang berinteraksi dengan sulfonilurea sehingga risiko terjadinya
hipoglikemia dapat meningkat.
g. Dosis, sebaiknya
dimulai dengan dosis lebih rendah dengan 1 kali pemberian, dosis dinaikkan
sesuai dengan respons terhadap obat.
2. Golongan Biguanid
Bekerja dengan
cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di
jaringan. Termasuk dalam golongan ini adalah Metformin, Fenformin, Buformin.
Efek samping yang sering terjadi (20% dari pemakai obat) adalah gangguan
saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan
diare.
3. Golongan analog Meglitinid
Bekerja dengan
cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
Repaglinid.
4. Golongan Thiazolidindion
Bekerja dengan
cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan
dengan PPARγ (peroxisome
proliferators activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk
menurunkan resistensi insulin. Golongan ini merupakan golongan baru dari ADO.
Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone, Rosiglitazone.
5. Golongan penghambat alphaglukosidase
Yang termasuk
dalam golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja dengan cara
menghambat alphaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida,
sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.
Tabel 2.Penggolongan obat hipoglikemik
oral
Golongan
|
Contoh Senyawa
|
Mekanisme Kerja
|
Sulfonilurea
|
Klorpropamid
Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Tolazalim
Tolbutamid
|
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga
hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih
berfungsi dengan baik
|
Biguanida
|
Metformin
Fenformin
Buformin
|
Bekerja langsung pada hati (hepar),menghambat
glukoneogenesis di hati dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
|
Meglitinid
|
Repaglinid
|
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan
menutup ATP-sensitive potassium chanel.
|
Tiazolidindion
|
Rosiglitazone
Pioglitazone
|
Meningkatkan kepekaan tubuh/sensitivitas terhadap insulin
di jaringan perifer. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated
receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi
insulin
|
Penghambat enzim alfaglukosidase
|
Akarbosa
Miglitol
|
Menghambat kerja enzim
alfaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa kedalam darah
|
V. TERAPI
KOMBINASI OBAT ANTIDIABETIK ORAL
Pada keadaan
tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat anti diabetik oral
(ODA) atau ODA dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan
biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang
memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan
obat antidiabetik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor
insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang.
Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada
banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
Tabel 3.Terapi Kombinasi Obat Anti
Diabetik Oral
DRUG
|
AVAILABLE DOSAGE STRENGTH
|
MAXIMUM DAILY DOSE
|
Glipizide/Metformin
(Metaglip®, generic)
|
2.5
mg/250 mg, 2.5 mg/500mg,
5
mg/500 mg tablets
|
20
mg/2000 mg per day
|
Glyburide/
Metformin (Glucovance®, generic)
|
1.25
mg/250 mg,2.5mg/500mg,
5
mg/500 mg tablets
|
20
mg/2000 mg per day
|
Rosiglitazone/Metformin
(Avandamet®)
|
2
mg/500 mg, 2 mg/1000 mg,
4
mg/500 mg, 4 mg/1000 mg tablet
|
8
mg/2000 mg per day
|
Pioglitazone/Metformin
(ActoPlus Met®)
|
15
mg/500 mg, 15 mg/850 mg tablets
|
45
mg/2550 mg per day
|
Pioglitazone/Glimepiride
(Duetact®)
|
30
mg/2 mg, 30 mg/4 mg tablets
|
30
mg/4 mg per day
|
Rosiglitazone/Glimepiride
(Avandaryl®)
|
4
mg/1mg, 4 mg/2 mg, 4 mg/4 mg,8 mg/2 mg, 8 mg/4 mg tablets
|
8
mg/4 mg per day
|
Sitagliptin/Metformin
(Janumet®)
|
50
mg/500 mg, 50 mg/1000 mg tablets
|
|
Interaksi obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari
pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan obat yang lain
dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's
Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di bawah ini
merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga
memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat
antidiabetik oral yang diberikan.
Tabel 4.Obat yang dapat menyebabkan
hiperglikemia
Alkohol
(kronis)
Amiodaron
Asparaginase
++
Antipsikotik
atipikal
Beta-agonis
++
Kafein
Calcium
channel blockers +
Kortikosteroid
+++
Siklosporin
++
Diazoxida
+++
Estrogen
+++
Fentanil
Alfa-Interferon
|
Laktulosa
Litium
+
Diuretika
tiazida +++
Niasin
and asam nikotinat ++
Kontrasepsi
oral ++
Fenotiazin
+
Fenitoin
++
Amina
simpatomimetik ++
Teofilin
Preparat
Tiroid +
Antidepresan
trisiklik
|
Keterangan (diadaptasi dari Bressler
and DeFronzo, 1994):
+ kemungkinan bermakna secara klinis.
Studi/laporan terbatas atau bertentangan.
++ bermakna secara klinis. Sangat
penting pada kondisi tertentu.
+++ berpengaruh bermakna secara klinis.
Obat atau senyawa-senyawa
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat antidiabetik
oral golongan sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin,
sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol,
kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase),
guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan,
hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan
dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa jenis obat seperti
guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain
juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya tidak diberikan
bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur
saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada periode yang sama.
Tabel 5.Obat yang dapat menyebabkan
hipoglikemia
Asetaminofen
Alkohol (akut)
Steroid Anabolik
Beta-blockers
Biguanida
Klorokuin
Klofibrat
Disopiramida
Guanetidin
Haloperidol
Insulin
Litium karbonat
|
Inhibitor Monoamin oksidase
Norfloxacin
Pentamidin
Fenobarbital
Fenotiazin
Prazosin
Propoksifen
Kinin
Salisilat
Sulfonamida
Sulfonilurea
Antidepresant trisiklik
|
Drug-Drug Interactions
1.
Klorpropamid
vs alkohol è efek disulfiram (efek antabuse)
MK: proses perombakan enzimatis
dari alkohol di hati akan terhambat pada fase asetaldehid, sehingga jumlah
asetaldehid dalam darah meningkat. Efek yang terjadi berupa nyeri kepala,
jantung berdebar, flushing, berkeringat.
Rx : C2H5OH à
CH3CHO à CH3COOH
Peningkatan ini akan merangsang pelepasan
prostaglandin.
2.
Sulfonilurea
vs akarbose è meningkatkan efek hipoglikemi
MK: sulfonilurea merangsang sel
beta untuk melepaskan insulin yang selanjutnya akan merubah glukosa menjadi
glikogen.
Dengan adanya akarbose akan memperlambat
absorbsi & penguraian disakarida menjadi monosakarida à
insulin >> daripada glukosa à hipoglikema meningkat.
3.
Sulfonilurea
vs antasid è absorbsi sulfonilurea meningkat
MK: interaksi ini terjadi pada proses
absorbsi, yaitu antasid akan meningkatkan pH lambung. Peningkatan pH ini akan
meningkatkan kelarutan dari sulfonilurea sehingga absorbsinya dalam tubuh juga
akan meningkat.
4.
Insulin
vs CPZ è glukosa darah meningkat
MK: CPZ akan menginaktivasi insulin
dengan cara mereduksi ikatan disulfida sehingga insulin tidak dapat bekerja.
5.
Sulfonilurea
vs Simetidin è hipoglikemi
MK: simetidin menghambat
metabolisme sulfonilurea di hati sehingga efek dari sulfonilurea meningkat.
6.
Sulfonilurea
vs Alupurinol è hipoglikemi >>
MK: Alupurinol meningkatkan t1/2
dari klorpropamid. Hipoglikemia dan koma dapat dialami oleh pasien yang
mengkonsumsi gliclazide dan alupurinol.
7.
Antidiabetika
vs Sulfonamida è peningkatan efek hipoglikemia.
MK: Sulfonamida dapat menggantikan
posisi dari sulfonilurea dalam hal pengikatan pada protein dan plasma sehingga
sulfonilurea dalam darah meningkat.
8.
Gemfibrozil
vs Glimepirid è hipoglikemi >>
MK: Gemfibrozil menghambat
metabolisme glimepirida pada sitokrom P450 dengan isoenzim CYP2C9 yang
merupakan perantara metabolisme dari glimepirida dan antidiabetika golongan
sulfonilurea lainnya seperti glipizida, glibenklamida & gliklazida sehingga
efek hipoglikemi meningkat.
9.
Sulfonilurea
vs kloramfenikol è hipoglikemi akut
MK: kloramfenikol dapat
menginhibisi enzim di hati yang memetabolisme tolbutamid dan klorpropamid. Hal
ini menyebabkan terjadinya akumulasi di dalam tubuh, waktu paruh akan semakin
panjang.
10.
Sulfonilurea
vs Probenesid è hipoglikemi
MK: probenesid dapat mengurangi
ekskresi renal dari sulfonilurea sehingga waktu paruhnya semakin panjang.
11.
Sulfonilurea
vs Klofibrate è efek sulfonilurea meningkat dengan
adanya klofibrate.
MK: berdasarkan pemindahan
sulfonilurea dari ikatan protein plasma, perubahan ekskresi ginjal dan
penurunan resistensi insulin.
12.
ADO vs Diuretik Tiazid è
meningkatkan kadar gula darah
MK: berdasarkan penghambatan
pelepasan insulin oleh pankreas.
13.
ADO vs Ca channel bloker è
hiperglikemia
MK: menginhibisi sekresi insulin
dan menghambat sekresi glukagon, terjadi perubahan ambilan glukosa dari hati
dan sel-sel lain, kadar glukosa dalam darah meningkat mengikuti pengeluaran
katekolamin sesudah terjadinya vasodilatasi, dan perubahan metabolisme pada
glukosa.
14.
Tolbutamid
vs Sulfipirazone è Hipoglikemia
MK: sulfipirazone menghambat metabolisme
tolbutamid di hati.
15.
Repaglinide vs Klaritromisin (makrolida) è efek repaglinide meningkat
MK: Klaritromisin menghambat metabolisme
repaglinide dengan menginhibisi sitokrom P450 isoenzim CYP3A4.
16.
ADO vs SSRIs è Hipoglikemi
MK: Fluvoxamine menurunkan kliren dari
tolbutamid dengan menghambat metabolismenya oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9,
sehingga terjadi peningkatan kadar plasma. Sehingga efek hipoglikeminya
meningkat.
17.
Pioglitazon
vs kontrasepsi oral è mengurangi komponen hormon sampai 30%,
berpotensi mengurangi efektivitas kontrasepsi.
MK: pioglitazon menginduksi Sistem
sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan bagian yang bertanggung jawab
terhadap metabolisme kontrasepsi, oleh karena itu obat-obat yang lainnya yang
dipengaruhi oleh sitokrom P450 juga dapat berinteraksi.
18.
Rosiglitazon
vs NSAID è resiko edema meningkat.
MK: Rosiglitazon & obat-obat
NSAID sama-sama sebabkan retensi cairan, sehingga kombinasi keduanya dapat
meningkatkan resiko edema.
19.
Glibenklamid
vs Fenilbutazon è Efek hipoglikemia glibenklamid
diperpanjang.
MK: Fenilbutazon menghambat
ekskresi renal dari glibenklamid, sehingga dapat bertahan lebih lama dalam
tubuh & memperpanjang t1/2 glibenklamid.
20.
Glibenklamid
vs ocreotide è ocreotide memiliki efek hipoglikemia,
sehingga dosis glibenklamid yang digunakan dapat dikurangi dosisnya.
MK: ocreotide menginhibisi aksi
dari glukagon.
DAFTAR PUSTAKA
1.
InfoPOM
BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
2.
Pharmaceutical
care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
DEPKES RI 2005
3.
Oral Antidiabetic Agents [Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996;
June 1997; June 1998; July 1999; June 2000; June 2001; September 2001; July
2002; June 2003; October 2007revised; November 2007, February 2008] MEDICAID
DRUG USE REVIEW CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
4.
Anonim.,
InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume :
IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
5.
Stockley.
I.H., Stockley’s Drug Interactions,
2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK, Pharmaceutical
Press.
INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN
Obat-obat yang kita
konsumsi dapat
saling
mempengaruhi yang dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan.
Saling pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat
disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang dikatakan sebagai akibat kegagalan pengobatan.
Sesungguhnya pemberian obat kepada pasien yang terlampau banyak jenisnya,
misalnya lebih dari 4 macam, sangat potensial menimbulkan efek yang tidak
diinginkan akibat interaksi obat.
Interaksi
obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat
lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus
selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan
secara bersamaan atau hampior bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa
pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam
praktek pengobatan.
Interaksi
dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai
tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara
ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai:
-
Terjadinya efek
samping
-
Tidak tercapainya
efek terapetik yang diinginkan
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi obat
yaitu :
1.
Obat dengan indek terapi sempit.
2.
Obat yang mempunyai bioavaibilitas rendah.
3.
Formulasi obat.
4.
Stereokimia obat.
5.
Potensi obat.
6.
Obat yang mempunyai kurva dosis respon yang tajam / curam.
7.
Lama terapi / penggunaan obat.
8.
Dosis obat.
9.
Konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (cairan tubuh).
10.
Waktu dan urutan penggunaan obat.
11.
Rute penggunaan obat
12.
Base line dari interaksi dan indek terapi.
13.
Jumlah obat yang mengalami metabolism.
14.
Kecepatan metabolisme obat
15.
Ikatan obat dengan protein
16.
Volume distribusi
17.
Problem farmakokinetik
Jenis interaksi ada 4 macam, yaitu
interaksi obat – obat, Interaksi Obat – makanan, Interaksi Obat –
penyakit, Interaksi Obat – Hasil
lab.
Disini akan dibahas lebih lanjut interaksi obat dengan makanan. Tipe interaksi ini
kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik dari obat terutama
pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap
obat dapat sangat signifikan atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis
obat dan makanan/minuman yang kita konsumsi. Selain itu harus pula dipahami bahwa sangat banyak faktor lain
yang mempengaruhi interaksi ini, antara lain dosis obat yang diberikan, cara
pemberian, umur, jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien. Pengurangan penyerapan obat oleh tubuh dapat juga terjadi bila
obat-obat ditelan bersama obat dan makanan yang mengandung kalsium, magnesium,
aluminium dan zat besi.
Obat yang diberikan secara
oral akan melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Oleh karena itu
hasil kerja obat di dalam tubuh manusia sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan
atau minuman yang dikonsumsinya. Mekanismenya bisa terjadi melalui penghambatan
penyerapan obat atau dengan mempengaruhi aktivitas enzim di saluran cerna
ataupun enzim di hati.
Ada 2 kemungkinan hasil
interaksi obat dan makanan. Yang pertama interaksi obat dan makanan dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat atau manfaat obat dan yang kedua
dapat meningkatkan efek samping atau efek dari obat itu sendiri.
Hal-hal
yang harus diingat tentang interaksi obat dan makanan antara lain:(1)(2)
1.
Bacalah aturan pakai
pada kemasan obat
2.
Baca semua aturan,
peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat dan kemasan.
Bahkan obat bebas pun dapat menyebabkan masalah.
3.
Gunakan obat dengan
segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang berbeda.
4.
Jangan mencampur obat
ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena dapat
mempengaruhi khasiat obat.
5.
Jangan mencampur obat
dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6.
Jangan pernah minum
obat dengan minuman beralkohol.
Berikut akan dibahas
beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan atau
minuman. Golongan obat-obatan yang akan dibahas antara lain:
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
MONOAMIN
OKSIDASE INHIBITOR (MAOI)
Monoammine
oxydase inhibitors (MAOIs) adalah golongan obat
antidepresan, yang digunakan untuk pengobatan depresi.
Mekanisme kerja dari enzim MAO (Monoamine oksidase) adalah membantu melepaskan ephinephrine,
norephinephrine, dopamine, dan serotonin. Ketika monoamin oksidase
dihambat, konsentrasi dari neurotrasnmitter
meningkat. Obat-obat
golongan MAOI masih sering digunakan untuk
pengobatan depresi pada manusia.
Inhibitor monoamin oksidase bekerja menghambat penguraian noradrenalin endogen sehingga
meningkatkan kadar noradrenalin di sistem saraf pusat dan di perifer. Selain
itu, MAOI juga dapat menghambat penguraian tiramin. Simpatomimetika tak
langsung seperti tirarnin membebaskan juga noradrenalin. Dengan adanya tiramin
dan obat golongan MAOI dalam tubuh dapat mengakibatkan konsentrasi noradrenalin
meningkat.
![Description: 0507CNS_RTM_Slide10.jpg](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.gif)
Gambar
1. Mekanisme kerja obat golongan MAO
Obat-obat MAOI meliputi: (3)
·
phenelzine
(Nardil®)
·
tranylcypromine
(Parnate®)
·
selegiline
(Eldepryl®)
·
isocarboxazid
(Marplan®)
·
moclebemice
(Manerix®)
Efek samping (4)
Mengantuk, konstipasi, muntah, diare, sakit perut, lelah, mulut kering,
pusing, tekanan darah turun, pusing khususnya ketika posisi bangun dan duduk,
menurunnya pengeluaran urin, menurunnya fungsi seksual, tidur terganggu, kejang
otot, pandangan kabur, sakit kepala, menigkatnya nafsu makan, gelisah,
menggigil, meningkatnya pengeluaran keringat.
Tabel 1. Interaksi yang terjadi antara obat MAOI dengan
makanan(6)
Obat MAO inhibitor
|
Makanan tinggi tiramin
|
Hasil interaksi
|
Isocarboxazid (Marplan®)
Tranylcypromine sulfate (Parnate®)
Phenelzine sulfate (Nardil®)
|
Keju (cheddar), Hati ayam
Minuman cola, Makanan kaleng
(daun/sayuran), Pisang
Bir, Buncis
Kafein, Ekstrak ragi
Daging, Coklat
Ikan kecil, Ikan asin/yg diawetkan, Alpukat, Jamur
Kismis, Sosis (peperoni)
Sour cream, Saus kedelai
Wine: Chianti, Minuman anggur
|
Makanan yang mengandung tiramin jika dikombinasi
dengan obat MAO inhibitor dapat menyebabkan sakit kepala yang hebat,
palpitasi, mual, muntah, dan peningkatan tekanan darah. Berpotensi
mengakibatkan stroke mematikan dan serangan jantung.
|
![]() |
Gambar 2. Mekanisme interaksi obat golongan MAOI dengan adanya makanan yang
mengandung tiramin
ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :
1.
Dopaminergik
Sentral
Pengisian kembali kekurangan
DA (Dopamin) korpus stratium
2.
Antikolinergik
Sentral
Mengurangi
aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3.
Penghambat
MAO-B
Menghambat
deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih
tinggi.
Tabel 2. Interaksi yang terjadi antara obat Antiparkinson
dengan makanan(6)
Nama Obat
|
Makanan
|
Hasil Interaksi
|
Methionine
tryptophan
phenylalanine
Bendopa
Dopar
Larodopa
Sinemet
|
Daging dan hati
Biji gandum
Ragi
Makanan tambahan atau
Suplemen vitamin seperti vitamin B6
Makanan yang tinggi protein
|
Vitamin B6 menghilangkan aktivitas dari L-dopa
dalam mengobati gejala penyakit parkinson. Diet protein yang berlebihan dapat
menghambat L-dopa mencapai otak.
|
ANTIHIPERTENSI
Mekanisme Kerja
:
1.
Penghambat
ACE
Penghambat
ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron.
2.
Diuretik
Meningkatkan
ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan
ekstra sel.
3.
Vasodilator
Melepaskan
nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir
defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil, dalam sel otot
polos.
Tabel 3. Interaksi yang terjadi antara obat Antihipertensi
dengan makanan(6)
Nama Obat
|
Makanan
|
Hasil
Interaksi
|
Enalapril
Captopril
Calan-SR
Capoten
Inderal
Lopressor
Vasotec
Imidapril
Spironolacton
|
Sejenis gula-gula yang dibuat dari Succus liquiritae
makanan yang banyak mengandung
garam
|
Komponen yang terdapat dalam akar licorice alami
menyebabkan retensi garam dan air yang dapat meningkatkan tekanan darah.
|
ANTIKOAGULAN ORAL
Mekanisme kerja:(5)
Antikoagulan
oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalh kofaktor yang berperan
dalam aktivasi factor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu dalam mengubah
residu asm glutamate menjadi residu asam gama karboksiglutamat. Untuk berfungsi
vitamin K mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral
mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor
pembekuan darah terganggu/tidak terjadi.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi antara obat Antikoagulan Oral
dengan makanan(6)
Obat
|
Makanan
|
Mekanisme Interaksi
|
Warfarin
|
Alkohol
|
Peminum alkohol berat dapat menstimulasi enzim
hepatik yang terkait dengan metabolisme dari warfarin, menyebabkan warfarin
cepat dieliminasi, sebagai hasil dari t ½ yang pendek
|
Vitamin C dosis tinggi
|
Mencegah absorspsi antikoagulan
|
|
cranberry juice
|
Kemungkinan dari kompisisi cranberry juice (mungkin flavonoid,
diketahui bahwa menghambat kerja sitokrom P450) menghambat metabolisme
warfarinàmenurunkan Cl, meningkatkan efek
|
|
Jahe
|
Jahe menghambat agregasi platelet
|
|
Gingseng
|
Penggunaan bersama dengan gingseng kadang-kadang
terjadi perdarahan, hal ini disebabkan karena gingseng mengandung komponen
antiplatelet
|
|
Rokok
|
Komponen dari roko menginduksi/menstimulasi enzim
hati , yang mana meningkatkan sedikit metabolisme warfarinàmenurunkan kerja warfarin
|
|
Vitamin E
|
Pemberian vitamin E sebesar 1200UI setiap hari
selama 2 bulan àmenyebabkan perdarahan
Pemberian 800UIàmenurunkan faktor pembekuan darah dan menyababkan perdarahan
|
|
Dikumarol
|
Vitamin E
|
Pemberian vitamin E 42 UI setiap hari selam 1
bulanàmenurunkan efek dikumarol setelah 36 jam
|
Antikoagulan
|
natto (makanan jepang yang terbuat dari
fermentasi kacang kedelai, dapat menurunkan efek dari warfarin)
|
pada proses pencernaan,aktivitas Bacillus natto
di dalam natto pada usus hewan yang menyebabkan peningkatan sintesis dan
kemudian peningkatan absorbsi vitamin K
|
Acenocoumarol
Dicoumarol
Warfarin
|
makanan dan minuman:
Makanan
Grapefruit juice
Avocado, ice-cream, kacang kedelai
|
- Makanan àmemperpanjang retensi dikumarol dengan
makanan-makanan bagian usus
- Protein dari kacang kedelaià meningkatkan aktivitas vitamin K pada reseptor
dibagian hatiàmenurunkan efek dari warfarin
- Alpukat yang mengandung sedikit vitamin K
(8µg/100g) mempengaruhi warfarin dengan inhibisi kompetitif
- Grapefruit juice àmeningkatkan kelemahan efek inhibitor jus anggur
pada aktivitas sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dalam usus.
|
Antikoagulan
|
Makanan mngandung
vitaminK: Hati sapi; Kubis, kol; Minyak; Kol cina ; Sayuran hijau ; Bayam
|
Vitamin K menaikkan bekuan darah. Dengan adanya
makanan ini, efek dari antikoagulan, pengencer darah menjadi menurun
|
IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme
kerja:
Kerja dari obat-obat golongan
immunosuppressan adalah
menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.
§ Biasanya digunakan
dalam pengobatan immunosuppressive.
§ Mencegah penolakan transplantasi organ dan jaringan
(sumsum tulang, jantung, ginjal,hati).
§ Mengobati
penyakit autoimun ( rheumatoid arthritis, multiple
sclerosis, myasthenia gravis, systemic lupus erythematosus,
Crohn's disease,
pemphigus,
and ulcerative
colitis).
Tabel 5. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan
dengan makanan(6)
Obat
|
Mekanisme kerja
|
Makanan
|
Efek yang dihasilkan
|
Ciclosporin
|
Penghambatan selektif sel T, menurunkan
produksi dan pelepasan limfokin serta menghambat ekspresi interleukin 2.
|
Makanan
Susu
Grapefriut juice
Red wine
St John’s wort (Hypericum perforatum)
Vitamin E
|
Makanan, susu dan grapefruit juice bisa
meningkatkan bioavaibilitas ciclosporin.
Red wine menurunkan bioavailabilitas ciclosporin
Menyebabkan penurunan kadar ciclosporin dalam
serum dan terjadi penolakan organ jika digunakan dalam beberapa minggu
pertama trnsplantasi.
Meningkatkan absorbsi ciclosporin
|
Keterangan:
•
ciclosporin dimetabolisme oleh cytochrome P450 3A4.
Penggunaan bersama ciclosporin dengan inhibitor cytochrome P450
3A4 dapat menimbulkan peningkatan kadar ciclosporin dalam plasma. Besarnya interaksi dan efek
potensi bergantung pada efek variabilitas cytochrome P450 3A4.
•
Grapefruit
juice (naringin flavanoid) diperkirakan
menghambat aktivitas dari citokrom p450
isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar
ciclosporin menjadi lebih tinggi , terutama dengan konsumsi grapefruit juice
yang berlebihan (>1,2 liter/hari)
•
jus
grapefruit mengandung bahan utama naringin, yang memberi rasa kecut serta aroma
khas. Naringin inilah yang diduga memblok "transporter" obat yang
dinamakan OATP1A2 yang mengangkut bahan aktif obat dari usus kecil ke pembuluh
darah. Pemblokiran transporter ini mengurangi absorpsi obat dan menetralisasi
potensi manfaatnya.
•
Antioksidan
(resveratol) pada red wine dapat menginaktivasi CYP3A4 sehingga bisa
meningkatkan kadar ciclosporin, namun red wine juga menurunkan solubilitas
ciclosporin dengan cara membentuk ikatan ciclosporin-red wine pada saluran gastrointestinal sehingga berpotensi
menurunkan bioavaibilitas ciclosporin.
Tabel 6. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan
dengan makanan(6)
Obat
|
Mekanisme kerja
|
Makanan
|
Efek yang dihasilkan
|
takrolimus
|
menghambat transkripsi gen pembentuk sitokin pada
limfosit T, menghambat pelepasan
histamin melalui mekanisme anti-IgE.
|
St.john’s wort
Grapefruit juice
|
Menurunkan kadar takrolimus
Meningkatkan kadar takrolimus
|
Keterangan :
·
Makanan
yang dapat menimbulkan interaksi dengan takrolimus adalah St.john’s wort, efek
yang dihasilkannya dapat menurunkan kadar takrolimus. Cytochrome P450 3A4
adalah enzim yang memetabolisme takrolimus.
St john’s wort bekerja dengan cara meninduksi (cytochrome P450
3A4) sehingga kadar takrolimus dalam darah menurun.
·
Sedangkan
Grapefruit juice dapat meningkatkan kadar takrolimus Grapefruit juice (naringin
flavanoid) diperkirakan menghambat
aktivitas dari citokrom p450 isoenzyme
CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar takrolimus
menjadi lebih tinggi.
ANTIINFLAMASI
NONSTEROID (AINS)
Mekanisme
kerja utama kebanyakan NSAID adalah menghambat sintesis
prostaglandin melalui pengharnbatan enzim siklooksigenase.
![](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image008.gif)
Gambar 3. Bagan penghambatan
obat antiradang terhadap pembentukan metabolit-metabolit radang.(7)
·
Aspirin
atau derivat salisilat dengan makanan à Hindari
makanan bersamaan dengan analgesik karena menghambat absorpsi aspirin.
Asam asetilsalisilat (aspirin)
sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika
nonsteroid, non-narkotik (Reynolds, 1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan
kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim
siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa endoperoksida
siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat semua senyawa
prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan terhenti (Mutschler,
1991; Campbell, 1991). (7)
Bukti
klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah
studi pada 25 sukarelawan diberikan 650 mg aspirin dalam 5 preparasi aspirin
yang berbeda menunjukkan bahwa makanan “roughly halved” pada tingkat serum
salisilat ketika diukur pada 10 dan 20 menit selanjutnya, dibandingkan dengan
ketika dosis yang sama diambil pada keadaan puasa. Hasil serupa ditemukan pada
percobaan pada sukarelawan yang diberikan 1500 mg kalsium aspirin. Pada
percobaan lain terhadap 8 sukarelawan yang diberikan aspirin effervescent,
level serum salisilat mereka secara perlahan terhambat dengan adanya makanan
pada 15 menit, namun hampir sama setelah 1 jam. Alasan yang mungkin untuk
mengurangi absorpsi yakni aspirin diadsorbsi oleh makanan. Makanan juga
menghambat pengosongan lambung. Maka jika diperlukan efek analgesik yang cepat,
aspirin harus diberikan tanpa makanan, tapi jika aspirin dibutuhkan untuk jangka
waktu lama, maka dengan adanya makanan dapat membantu untuk melindungi mukosa
lambung.
·
Dekstropropoksifen
(propoksifen) dengan makanan à Makanan
dapat menghambat absorpsi dekstropropoksifen, tapi secara total absorpsi justru
meningkat.
Bukti
klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah
studi pada subjek sehat dalam keadaan puasa, kadar plasma puncak
dekstropropoksifen telah dicapai dalam 2 jam, lemak kadar tinggi dan
karbohidrat kadar tinggi menghambat level serum puncak menjadi 3 jam dan
protein tinggi menjadi 4 jam. Pada kedua protein dan karbohidrat (makanan
kecil) menyebabkan sedikit peningkatan total dari jumlah propoksifen yang
diabsorpsi. Kemungkinan alasan keterlambatan penyerapan adalah makanan
menghambat pengosongan lambung dan kemungkinan juga secara fisik mencegah
dekstropropoksifen kontak dengan permukaan usus. Hindari makanan, jika
diperlukan efek anlgesik yang cepat.
ANTIBIOTIKA
Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh berbagai spesies
mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu menekan pertumbuhan
mikroba lain dan mungkin membinasakan.
Mekanisme kerja antibiotik:(8)
Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan
mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda, diantaranya adalah dengan cara:
1. Menghambat sintesis dinding sel
mikroba.
2. Mengganggu membran sel mikroba.
3. Menghambat sintesis protein dan
asam nukleat mikroba.
4. Mengganggu metabolisme sel
mikroba.
Beberapa obat-obatan dari golongan
antibiotik, diketahui memberikan interaksi apabila dikonsumsi bersamaan dengan
makanan tertentu, diantaranya:
Tabel 7. Interaksi yang terjadi antara obat Antibiotika
dengan makanan(6)
![](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image010.gif)
cefalosforin
|
Dairy product
|
secara farmakokinetik obat golongan cefalosforin
(cefprozil, cefpodoxime proxeti) sangat kecil efeknya
|
clindamycin
|
Dairy product
|
lincomycin terjadi penurunan tingkat pada level
serum 2 sampai 3 kali jika dikonsumsi setelah makan. Tetapi klindamisin tidak
terlalu berefek. Siklamat juga dapat menurunkan absorpsi dari linkomisin
|
amoxicillin
|
Makanan berserat
|
diet serat dapat menyebabkan sedikit penurunan
absopsi dari amoxicillin.
|
Rifampisin
|
makanan
|
Adanya makanan dapat memperlambat dan mengurangi absorbsi dari rifampisin (mekanismenya
belum jelas)
|
DAFTAR
PUSTAKA
1.
http://www.hsc.virginia.edu/uvahealth/adult_nontrauma/fooddrug.cfm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:00 WIB.
3.
http://health.howstuffworks.com/health-illness/treatment/medicine/medications/antidepressant4.htm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 13:06 WIB.
4.
http://www.mayoclinic.com/health/maois/MH00072/NSECTIONGROUP=2 diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 15:43 WIB.
5.
Anonim. Farmakologi Dan Terapi, edisi 4.1995. Jakarta : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.
6.
Ivan H. Stockley. Stockley’s Drug Interactions. UK,
Nottingham: University of Nottingham Medical School.
7.
Mansoer, Soewarni.
2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang.
Bagian farmasi FK UNSU.
8.
Suwandi, Usman.
1992. Mekanisme Kerja Antibiotik.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.
INTERAKSI OBAT-OBAT PARKINSON
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit Parkinson merupakan suatu
sindrom klinik yang ditandai empat gejala pokok: bradikinesi (lambat untuk
memulai gerakan), rigiditas otot, resting tremor ( tremor saat istirahat) serta
abnormalitas sikap tubuh dan berjalan (Cedarbaum dan Schleifer, 1992). Sindrom
ini pertama kali diutarakan oleh James Parkinson tahun 1817 yang dikenal
sebagai paralysis agitans atau shaking palsy,yang
merupakan penyakit neurodegenerative sebagai penyebab umum sindrom ini. Diduga
penyakit Parkinson (Parkinsonisme) merupakan 1-2 % dari kelainan neurologi (Mc
Dowel,1981).
Penyakit Parkinson mempunyai dua bentuk
pokok, yaitu :
1.
Parkinsonisme
idiopatik (paralisis agitans)
2.
Parkinsonisme
simptomatik, akibat cedera kepala atau penyakit. Manifestasi klinis seperti ini
dapat diakibatkan oleh aterosklerosis serebri, cedera kepala, infeksi (termasuk
neurosifilis), keracunan atau Mangan.
Penyebab penyakit Parkinson, menurut
Calne (1980) ialah :
1.
Obat-obat
( reserpin, tetrabenozine, fenotiazin seperti klorprolazin, butirofenon seperti
haloperidol, difenilbutilpiperidin seperti pinozoid, antidepresan trisiklik,
prokain dan diazoksid).
2.
Bahan
toksik (Cd, Mangan)
3.
Infeksi
(ensefalitis, sifilis)
4.
Tumor
5.
Infark
6.
Predisposisi
genetic
Sebagian besar pasien merupakan
Parkinsonisme idiopatik. Didapat inclusion neural yang disebut : Lewy bodies. Lesi patologiknya luas tapi
hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia basal.
Gejala pokok penyakit Parkinson ialah:
tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran klinis dari penyakit Parkinson
termasuk adanya kelainan ekspresi fasial, postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta rigiditas dan tremor (Walton,1982).
ü Tahapan 1 : gejala begitu ringan
sehingga pasientidak merasa terganggu.
ü Tahapan 2 : gejala ringan dan mulai
sedikit mengganggu.
ü Tahapan 3 : gejala bertambah berat.
ü Tahapan 4 : tidak mampu lagi berdiri
tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
ü Memburuknya gejala, menimbulkan
keputusasaan.
B.
Mekanisme Kerja Obat Parkinson
v Agonis dopamine
Agonis dopamine secara langsung
mengaktivasireseptor-reseptor dopamine pada saraf-saraf postsinaptik sehingga
terjadi stimulasi reseptor-reseptor tersebut sama sepertiapabila reseptor
berikatan dengan dopamine.
v Antikolinergik
Memblok
aktivitaseksitatorik yang meningkat dari sambungan antar neuron yang bersifat
kolinergik pada jalur keluaran dari ganglia basal, yang secara tidak langsung
terjadi akibat hilangnya kerja inhibitorik dopamine pada sambungan antarneuron
tersebut
v Levodopa
Levodopa
akan di dekarboksilasi à
dopamine à jumlah
neurotransmitter dopamine bertambah àstimulasi
reseptor dopamine sentral & perifer
Pada SSP dan ditempat lainnya,
levodopa diubah oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi dopamine.
Dijaringan perifer 1-AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang
tidak dapat menembus sawar otak, oleh karena itu karbidopa meningkatkan
penetrasi levodapa eksognus trsebut serta menurunkan efek samping (misal :
mual, muntah, aritmia jantung, mimpi buruk, hipotensi postural) akibat metabolisme
levodopa perifer menjadi dopamine.
v Inhibitor
MAO-B
MAO-B
inhibitor akan menghambat secara irreversible enzim monoamine oksidase B yang
mrupakan enzim penting dalam metabolisme dopamine.
Blockade
metabolisme MAO-B akan menyebabkan lebih banyak inhibitor yang tersedia untuk
menstimulasi reseptor-reseptor dopamin
v Inhibitor
COMT
Memblok
jalur alternative pada mtabolisme dopamine. Memperpanjang waktu paruh dopamine
sehingga memperpanjang durasi dan aksi dopamine.
INTERAKSI
OBAT ANTI PARKINSON
1.
Levodopa
+ Antasid
Antasid
tidak berinteraksi secara signifikan dengan levodopa, walaupun ada beberapa
kejadian ada beberapa kejadian bahwa antacid mengurangi bioavailabilitas
levodopa.
Mekanisme
:
Usus
halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa dan penundaan
pengosongan lambung dapat menyebabkan kadar levodopa dalam plasma rendah, hal
ini disebabkan karena levodopa dapat dimetabolisme di dalam pencernaan.
2.
Levodopa
+ Antikolinergik
Antikolinergik
sangat luas penggunaannya dengan levodopa. Antikolinergik dapat mengurangi
penyerapan levodopa sehingga dapat mengurangi efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme
:
Usus
halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa, antikolinergik dapat
menyebabkan penundaan pengosongan lambung sehingga dapat menyebabkan rendahnya
kadar levodopa dalam plasma karena metabolism di mukosa lambung menjadi lebih
lambat.
3.
Levodopa
+ Antiemetik (Metoklopramid)
Metoklopramid
dapat meningkatkan efek dari levodopa
Mekanisme
:
Metoklopramid
merupakan antagonis dopamine yang dapat menyebabkan gangguan extrapiramidal
(gejala Parkinson). Pada sisi lain metoklopramid merangsang pengosongan lambung
yang dapat meningkatkan bioavaibilitas levodopa.
4.
Levodopa
+ Antipsikosis (Phenotiazin & Butirofenon)
Phenotiazin
(eg. Chlorpromazin) dan Butirofenon (eg.Haloperidol) memblok reseptor dopamine
di otak dan mempengaruhi pengembangan extrapiramidal (gejala Parkinson)
5.
Levodopa
+ Baclofen
Menyebabkan
efek samping yang tidak menyenangkan (halusinasi, bingung, sakit kepala, mual) dan
memeperburuk gejala Parkinson.
6.
Levodopa
+ Benzodiazepin
Menyebabkan
efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan bersama dengan
chlordiazepoxid, diazepam atau nitrazepam
7.
Levodopa
dengan anastetik
Anestetik
: meningkatkan potensi aritmia, jika levodopa diberikan bersamaan dengan cairan
anestetik umum yang diuapkan (inhalasi)
8.
Levodopa
dengan anti depresan
Resiko
terjadi krisis hipertensi jika levodopa diberikan bersamaan dengan penghambat
MAO, meningkatkan resiko efek smping jika levodopa diberikan bersama dengan
moklobemid
9.
Levodopa
dengan piridoksin
Dapat
menurunkan jumlah levodopa yang melewati sawar otak.
Mekanisme
: Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah dapat meningkatkan
dekarboksilasi levodopa di perifer, akibatnya levodopa yang mencapai jaringan
otak berkurang
10.
Amantadin
+ Cotrimoxazol
Dapat
meningkatkan kekacauan mental akut pada pasien usia lanjut, namun bersifat
reversible
11.
Amantadin
+ Quinin & Qunidin
Pada
kadar 200 mg quinine atau quinidin dapat mengurangi metabolisme amantadin
berturut-turut sebanyak 36 %.
12.
Amantadin
+ Thiazid
Menyebabkan
ataksia (kehilangan keseimbangan tubuh), gelisah dan halusinasi berkembang
tidak lebih.
13.
Bromokriptin
+ Antibiotik Makrolide
Menghambat
metabolism bromokriptin oleh hati sehingga ekskresinya menurun dan
konsentrasinya tinggi dalam serum darah
14. Levodopa
+ Entacapone
Entacapone
meningkatkan kadar plasma dan
bioavailabilitas levodopa, sehingga meningkatkan efek terapi pada pasien
penyakit Parkinson. Akan tetapi peningkatan ini disertai dengan meningkatnya
efek samping levodopa (contoh: diskinesia), sehingga disarankan bahwa saat
mulai digunakan entacapone, dosis levodopa sebaiknya dikurangi sekitar 10
sampai 30% (termasuk pada hari atau minggu pertama pemakaian) untuk menghindari
potensi terjadinya efek samping tersebut.
15. Levodopa
+ Fluoxetine
Penggunaan fluoxetine untuk mengobati
depresi yang terkait dengan penyakit parkinson umumnya bermanfaat bagi pasien
yang diterapi dengan levodopa untuk mengobati penyakit tersebut. Meskipun
demikian, terkadang gejala parkinsonian justru semakin memburuk. Gejala
ekstrapiramidal jarang terjadi namun diduga gejala tersebut merupakan efek
samping fluoxetine.
Urgensitas
dan menejemen
Walaupun
memiliki bukti terbatas, namun tampaknya pada beberapa kasus, parkinsonisme
dapat diperparah oleh fluoxetine. Suatu
penelitian menemukan bahwa kombinasi yang digunakan dapat ditoleransi oleh 12
dari 14 orang percobaan, sehingga disimpulkan bahwa interaksi hanya terjadi
pada beberapa penderita, akan tetapi belum diketahui tipe pasien yang seperti
apakah yang dapat menimbulkan terjadinya interaksi tersebut. Penggunaan bersama
secara berkelanjutan dapat memberikan keuntungan dan tidak perlu dihindari,
hanya saja perlu dilakukan monitoring hasil, dan apabila diperlukan pemakaian
fluoxetine dapat dihentikan.
16. Levodopa
+ Isoniazid
Tidak terdapat bukti bahwa isoniazid
dapat menurunkan efek levodopa pada penderita Parkinson. Dilaporkan pula bahwa
penggunaan isoniazid bersama dengan levodopa dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi, takikardi, flushing dan tremor pada pasien.
Mekanisme
Studi metabolisme pada pasien
mengindikasikan bahwa isoniazid menghambat dopa-dekarboksilase (walaupun
mungkin dapat disebabkan oleh mekanisme lainnya). Kasus mengenai hipertensi dan
takikardi belum diketahui, meskipun demikian diasumsikan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh efek inhibisi monoamine oksidase yang lemah oleh metabolit
isoniazid.
17. Levodopa
+ Metildopa
Metildopa dapat meningkatkan efek
levodopa sehingga perlu dilakukan penurunan dosis pada beberapa pasien, akan
tetapi di sisi lain hal ini dapat pula menyebabkan terjadinya diskinesia yang semakin buruk. Dapat pula terjadi efek
peningkatan hipotensi yang kecil.
Bukti klinis
a.
Efek
pada respon levodopa
Studi
silang acak-ganda (double-blind crossover
study) pada 10 pasien dengan penyakit Parkinson yang telah menggunakan
levodopa selama 12 sampai 40 tahun menunjukkan bahwa dosis harian optimum
levodopa diturunkan menjadi 68% apabila digunakan metildopa dengan dosis tertinggi
pada penelitian ini (1920 mg per hari), dan menjadi 50% dengan metildopa 800 mg
per hari.
Laporan
lain menjelaskan penurunan dosis levodopa
terjadi sampai lebih dari 30% dan 70% selama pengobatan bersama
metildopa. Laporan lain menyatakan bahwa terapi penyakit Parkinson pada
beberapa pasien meningkat selama penggunaan bersama metildopa, akan tetapi di
sisi lain dapat memperburuk diskinesia. Metildopa itu sendiri dapat menyebabkan
sindrome mirip-parkinson reversibel.
b.
Efek
terhadap respons metildopa
Penelitian
pada 18 pasien Parkinsosn menunjukkan bahwa kombinasi levodopa dan metildopa
dapat menurunkan tekanan darah. Dosis yang digunakan tidak mempengaruhi tekanan
sistolik apabila digunakan sendiri. Dosis harian2,5 g levodopa dengan metildopa
500 mg dapat menyebabkan penurunan tekanan darah hingga 12/6 mmHg. Tidak tampak
terjadinya perubahan pada kontrol
levodopa, akan tetapi studi tersebut hanya dilakukan selama beberapa
hari.
Mekanisme
(a) Satu teori menyatakan bahwa levodopa
menghambat enzim pendestruksi levodopa
di luar otak sehingga lebih banyak levodopa bebas yang dapat memberikan
efek terapi.
(b) Peningkatan hipotensi dapat disebabkan
oleh efek aditif kedua obat.
Urgensitas dan menejemen
Penggunaan bersama kedua obat tidak
perlu dihentikan akan tetapi perlu dimonitoring dengan baik. Penggunaan
metildopa diikuti dengan penurunan dosis
levodopa (antara 30 dan 70%) dan dapat meningkatkan kontrol pada penyakit
Parkinson, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pada beberapa pasien diskinesia
dapat semakin memburuk.
18. Levodopa
+ Mirtazapine
Suatu laporan menjelaskan mengenai
psikosis serius yang disebabkan oleh interanksi antara levodopa dan
mirtazapine. Hal tersebut terjadi dikarenakan psikosis yang diinduksi dopamine
dicetuskan oleh efek aditif mirtazapine pada levodopa.
19. Levodopa
atau Whole broad beans + Monoamin
oksidase inhibitor (MAOI)
Reaksi
hipertensi yang cepat, serius dan mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien
pengguna MAOI non selektif ireversibel apabila diberikan levodopa atau apabila
mereka memakan whole broad beans yang
mengandung dopa pada cangkang atau kulitnya. Diragukan adanya interaksi yang
terjadi antara sediaan levodopa yang
mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet,
Madopar). Tidak terjadi reaksi
hipertensi serius yang dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor
selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut yang serius pada penggunaan
selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
(a) Levodopa + MAOI non-selektif,
ireversibel
Pasien
yang setiap hari mengkonsumsi phenelzine selama 10 hari diberikan 50 mg
levodopa secara peroral. Hanya dalam waktu beberapa jam menunjukkan terjadinya
peningkatan tekanan darah dari 135/90 menjadi sekitar 190/130 mmHg, dan
walaupun dengan penyuntikan 5 mg phentolamine secara iv, tekanan darah
meningkat sampai 200/135 mmHg sebelum akhirnya turun kembali setelah
penyuntikan 4 mg phentolamine berikutnya. Hari berikutnya percobaan dilanjutkan
dengan pemberian 25 mg levodopa, akan
tetap tampak terjadinya peningkatan tekanan darah. Tiga minggu setelah
penghentian phenelzine, pemberian levodopa sampai 500 mg tidak memberikan efek
hipertensi.
Kasus
hipertensi akut yang serupa biasa disertai dengan flushing, throbbing, dan pounding pada kepala, leher, dada dan
sakit kepala ringan dilaporkan terjadi pada penggunaan levodopa bersama dengan
pargyline, nialamide, tranylcypromine, phenelzine dan isocarboxazid.
(b) Whole
broad beans +
MAOI non-selektif, ireversibel
Reaksi
seperti hipertensi dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan MAOI
non-selektif, ireversibel yang juga mengkonsumsi whole broad beans (Vicia alba)
atau polong utuh yang masih berkulit, karena pada kulitnya mengandung dopa akan
tetapi tidak pada polongnya. Termasuk di dalam interaksi ini adalah pargyline
dan phenelzine.
(c) Levodopa + MAO-A inhibitor selektif
(Moclobamide)
Sebuah
penelitian pada 12 orang sehat yang diberikan dosis tunggal Madopar (levodopa +
benserazide) dengan 200 mg moclobemide dua kali sehari melaporkan bahwa objek
percobaan menderita mual, muntah dan peningkatan dizziness, akan tetapi reaksi peningkatan tekanan darah yang
signifikan tidak terlihat.
(d) Levodopa + MAO-B inhibitor selektif
(Selegiline)
Kombinasi
levoopa dan seleginine telah digunakan secara luas. Tidak terjadi reaksi
hipertensi yang serius pada penggunaan MAOI non-selektif. Tidak ada interaksi
farmakokinetik yang dilaporkan, dan interaksi serius jarang terjadi. Beberapa
penelitian melaporkan efek kombinasi yang menguntungkan pada kombinasi
tersebut, akan tetapi dikatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan
mortalitas. Retensi urinasi juga diasosiasikan pada penggunaan kombinasi obat
ini.
Mekanisme
Keseluruhan
levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine,
dan kemudian menjadi noradrenalin (norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh
monoamine oksidase. Akan tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut
dapat terhambat, sehingga kadar plasma dopamine dan noradreanalin akan
meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat meningkatkan tekanan darah
secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan
secara langsung menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular
Urgensitas
dan menejemen
Interaksi
antara MAOI non-selektif ireversibel dengan levodopa atau whole broad beans termasuk sarius dan membahayakan jiwa. Pasien
sebaiknya tidak diberikan levodopa selama pengobatan dengan MAOI tersebut,
maupun setelah 2 sampai 3 minggu pasca penghentian obat tersebut.
Tidak
terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara
levodopa dan moclobemide, akan tetapi beberapa efek samping akan tetap terjadi.
Tidak
terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara
levodopa dan seleginine, akan tetapi dikatakan bahwa dengan penambahan
seleginine dapat dilakuka penurunan dosis levodopa (disarankan sekitar 30%).
20. Levodopa
+ Papaverin
Bukti
Klinis :
(a) Penurunan efek levodopa
Seorang
wanita dengan parkinsonisme diterapi menggunakan levodopa (yang selanjutnya
dilakukan penambahan carbidopa), mulai menunjukkan parkinsonisme yang semakin
memburuk dalam satu minggu saat diberikan 100 mg papaverin setiap hari untuk
mengobati insufisiensi pembuluh serebral.
Kondisi tersebut tetap tampak bahkan setelah penghentian papaverin.
Respons normal terhadap levodopa kembali pulih setelah satu minggu. Empat
pasien lainnya juga menunjukkan respons serupa.
(b) Efek levodopa tetap
Sebuah
studi acak ganda (double blind crossover) dilakukan pada 9 pasien parkinsonisme yang
diobati menggunakan levodopa (antara 100 sampai 750 mg per hari) dan inhibitor
dopa-dekarboksilase. Dua di antaranya juga manggunkan bromocriptine 40 mg per
hari dan triheksilphenidyl (benzhexol) 15 mg per hari.
Mekanisme
Papaverin
memblok reseptor dopamine pada otak, sehingga menghambat efek levodopa. Selain
itu papaverim memiliki aktivitas mirip-reserpin pada vesikel di neuron
adrenergik (yang dapat menurunkan simpanan katekolamin).
21.
Levodopa + Penicillamine
Penicillamine dapat meningkatkan kadar
plasma levodopa pada beberapa pasien. Hal ini dapat meningkatkan terapi pada
parkinsonisme, akan tetapi ROTD levodopa juga dapat meningkat.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan
menejemen.
Pasien parkison mengalami peningkatan
kadar plasma levodopa sebesar 60% setelah pemberian 600 mg penicillamin per
hari. Hal ini menyebabkan meningkatnya terapi akan tetapi diikuti pula oleh
diskinesia. Diperhatikan bahwa pasien perlahan-lahan mengalami penurunan kadar
tembaga (copper) dan ceruloplasmin
plasma. Hal ini disebabkan karena terjadinya efek kelasi tembaga oleh
penicillamine. Penicillamine dapat ,mempengaruhi farmakokinetik levodopa.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan
menejemen
Seorang pasien (yang sangat sensitif terhadap levodopa) ditemukan bahwa
pasien tersebut dapat mencegah pergerakan involunter dari lidah, leher dan
lengan yang disebabkan oleh levodopa (125 mg). Pasien tersebut dapat menekan efek samping levodopa
dengan menggunakan fenilbutazon. Fenilbutazon juga menurunakan efek terapi dari
levodopa.
Efek terapi
levodopa dikurangi atau dihilangkan dengan adanya fenitoin.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan
menejemen
Suatu studi pada pasien yang menggunakan levodopa 630 hingga
4600 mg, ditemukan bahwa jika dilakukan pemberian bersama dengan fenitoin (dosis 500
mg per hari selama 5 sampai 19 hari) maka dapat menghilangkan efek dyskinesia, tetapi efek
menguntungakan dari levodopa untuk penyakit
parkinson juga berkurang atau hilang
Efek levodopa
berkurang atau hilang pada penggunaan bersama dengan piridoksin tetapi
interaksi ini tidak terjadi jika levodopa diberikan bersama dengan carbidopa
atau benserazide (misal
:. Sinemet, Madopar).
Bukti Klinis
(a) Levodopa
Suatu studi pada 25 pasien yang diobati dengan levodopa menunjukkan bahwa
jika mereka diberikan piridoksin dosis tinggi (750 hingga 1000 mg per hari),efek levodopa
benar-benar hilang
dalam 3 sampai 4 hari, dan beberapa penurunan efek dalam 24 jam. Dosis harian 50 hingga 100 mg piridoksin juga mengurangi
atau menghilangkan efek dari levodopa, dan peningkatkan tanda dan gejala
parkinson terjadi 8 dari 10 pasien yang menggunakan 5 sampai 10
(b) Levodopa/carbidopa
Studi pada 15 pasien kronik Parkinson dengan levodopa
ditemukan bahwa jika diberikan
dosis tunggal 250-mg dosis
levodopasecara oral,
pemberian piridoksin 50 mg
menyebabkan puncal level oplasma menurun hingga mencapai
70%. Pemberian 50 mg
dengan levodopa 250 mg mempotensiasi level puncak plasma dopa menjadi
1300 nanograms/ml.
Mekanisme
Konversi levodopa
menjadi dopamine di dalam tubuh
membutuhkan adanya pyridoxal-5-phosphate
(berasal dari pyridoxine) seagai kofaktor.jika konsumsi
piridoksin tinggi, maka metabolisme perifer levodopa di luar otak meningkat
sehingga hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat. Pyridoksin juga dapat menyebabkan metabolisme
levodopa dengan Schiff-base
formation. Adanya inhibitor dopa-decarboxylase
seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme
perifer levodopa diturunkan dan levodopa dapat masuk ke susunan saraf pusat
dalam jumlah yang lebih besar.
Efek levodopa
diantagonis dengan penggunaan alkaloid rauwolfia seperti reserpine.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan
menejemen
Reserpine dan alkaloid rauwolfia lain menurunkan miniamin di dalam
otak, termasuk dopamine,
sehingga
menurunkan efeknya. Hal ini dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan
parkinson, dan dapat mengantagonis efek dari levodopa.
Level plasma
carbidopa diturunkan dengan penggunaan spiramycin,
oleh karena itu dapat menurunkan efek terapeutiknya.
Bukti Klinis
Observasi pada pasien Parkinson yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit
tidak terkontrol jika diberikan bersama dengan spiramisin. Studi dilanjutkan
pada 7 orang sehat yang diberikan 250 mg levodopa dengan 25 mg
carbidopa. Setelah menggunakan spiramisin 1 g dua kali sehari selama 3 hari, AUC dari
levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun
dari 2162 menjadi 1680 nanograms/ml (tidak signifikan). Kerelativan ioavailabilitas levodopa hanya 43%.
Mekanisme
Spiramycin
menurunkan
absorpsi carbidopa,
dengan membentuk
kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam usus atau dengan meningkatkan
transit di dalam usus.
Sehingga carbidopa
yang diabsorpsi tidak mencukupi, sehingga efek levodopa turun.
Urgensitas
dan menejemen
Informasi sangatlah terbatas, tetapi terdapat interaksi obat dan penting
secara klinis. Jjka spiramycin
diberikan, maka
antisipasi diperlukan untuk meningkatkan dosis levodopa/carbidopa (hingga dua kali
dosis biasa). Hal ini tidak diketahui apakah antibakteri makrolida lain
memiliki efek yang sama, atau apakah spiramycin berefek pada sediaan levodopa/benserazide.
Semakin
memburuknya parkinson pada pasien yang diberikan tacrin.
Efek levodopa diantagonis ketika dosis takrin meningkat
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga menderita Alzheimer semakin memburuk, terjadi tremor yang
parah, stiffness dan disfungsi gait (cara berjalan)
dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg menjadi 20 mg
empat kali sehari.
Mekanisme
Parkinsson disebabkan
karena ketidakseimbangan antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di dalam basal ganglia otak. Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan
jumlah asetilkolin di dalam otak, yang dapat menyebabkan eksaserbasi gejala
parkinson.
Terjadi efek hipertensif
ketika imipramine atau amitriptyline digunakan bersama dengan Sinemet.
Bukti Klinis
Adanya hipertensi (tekanan darah 210/110 mmHg) yang berhubungan
dengan agitasi, tremor
dan rigidity terjadi pada wanita uang menggunakan 6 tablet of Sinemet (levodopa
100 mg + 10 mg carbidopa) per hari, kemudian hari berikutnya pasien tersebut
menggunakan imipramin 25 mg tiga kali sehari. Saat penggunakan imipramin
dihentikan, pasien tersebut kembali pada keadaan nornal setelah 24 jam. Reaksi serupa terjadi lagi saat pasien tersebut meminum 25 mg amitriptyline tiga kali sehari. Reaksi hipertensif yang mirip
(meningkat dari
190/110 menjadi 270/140 mmHg) terjadi dalam
waktu 34 jam pada pasien
lain yang mengkonsumsi amitriptyline 20 mg pada malam ketika
diberikan setengah tablet Sinemet dan
10 mg metoclopramide tiga kali sehari.
Mekanisme
Tidak diketahui. Usus halus merupakan tempat absorpsi utama dari levodopa.
Menunda efek pengosongan lambung yang dapat disebabkan oleh antikolinergik,
nampak adanya penurunan lebel plasma levodopa, karena mukosa lambung
memetabolisme levodopa.
29. Lisuride + berbagai macam obat
Eritromisin
dan makanan dapat bereaksi secara klinik dengan lisuride. Antagonis dopamine
dapat diperkirakan mengurangi efek dari lisuride, dan lisuride dapat
memperburuk efek dari obat-obt psikotropik.
Bukti
Klinis
Terhadap
12 orang sehat, lisuride dengan dosis 200 mcg secara oral atau 50 mcg secara iv
diberikan 30 menit setelah penggunaan eritromisin (dosis tidak diketahui)
sehari 2 kali selama empat hari. Lalu pada 30 orang sehat lainnya diberikan 200
mcg lisuride secara oral dalam keadaaan puasa atau terdapat makanan. Maka dapat
terlihat eritromisin dan makanan dapat merubah farmakokinetik dan
farmakokinetik dari lisuride.
Lisuride
merupakan agonis dopamine, maka obat-obat antagonis dopamine seperti
haloperidol, sulpirirde dan metoklopramid dapat melemahkan efek obat-obat
psikotropik.
30. Piribedil + Clonidine
Clonidine
dapat dilaporkan, bahwa efeknya melawan efek yang dihasilkan dari piribedil.
Berdasarkan
pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine
(1,5 mg perhari untuk 10-24 hari) dapat memperburuk proses Parkinson. Maka,
penggunaan obat antikolinergik dapat mengurangi dengan efek dari interaksi
tersebut.
31. Pramipexole + berbagai macam obat
Cimetidine,
Probenecid dan amantadine dapat mengurangi clearance pramipexole dari dalam
tubuh. Pramipexole tidak diharapkan berinteraksi dengan obat-antikolinergik,
levodopa (pengurangan dosis mungkin diperlukan) atau selegine, tetapi
penggunaannya harus diperhatikan jika obat tersebut dikombinasikan dengan obat
antipsikotik.
Berdasarkan
pengamatan terhadap 12 orang sehat, ditemukan cimetidine (multiple dose)
mengurangi clearance dari pramipexole dengan dosis 250 mcg (single dose)
sebesar 35 % dan meningkatkan waktu paruh sebesar 40 %. Amantadine dan
cimetidine, keduanya dieliminasi oleh rute tersebut ( contoh melalui renal
kationik sistem transport sekresi), maka tingkat ekskresi kedua obat tersebut
berkurang.
Probenecid
(multiple dose) diberikan kepada 12 orang sehat dapat mengurangi clearance
pramipexole sebesar 10, 3%. Dapat disimpulkan bahwa hendaknya pengurangan dosis
pramipexole dipertimbangkan ketika amantadin atau cimetidine diberikan secara
bersamaan dengan pramipexole.
Meskipun
tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa,
pramipexole merubah aksi levodopa , maka penurunan dosis levodopa seiring
dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara bersamaan dengan obat-obat antipsikoti, harus dapat dihindari,
sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine akan mengantagonis efek
pramipexole, agonis dopamine.
Meskipun
tidak terdapat interraksi farmakokinetik pramipexol dengan levodopa, tetapi
jika pada penggunaan Pramipexole dengan dosis tinggi, maka levodopa dosisnya
harus ditambah.
Aksi
Antagonis dopamine dapat akan mengantagonis atau menghambat efek dari
pramipexole, antagonis dopamine.
32. Ropinirole + berbagai macam obat
Oestrogen
dapat mengurangi clearancero pinerole. Cimetidin, Ciproploxacin, fluvoxamin
dapat meningkatkan efek ropinerole, dan dopamine antagonis seperti
metoklopramid dan sulpiride mengurangi efek ropinerole.
Ropinirole
merupakan agonis dopamine, jadi obat antipsikotik dan obat-obat lain yang
bertindak pada reseptor sentral dopamine antagonis (sulpiride dan
metoclopramide), harus dihindari karena dapat mengurangi keefektifan
ropinerole.
Ropinirol
dan levodopa tidak memiliki interaksi farmakokinetik pada kondisi steady-state.
Meskipun demikian, maka disarankan mengurangi dosis levodopa sekitar 20%.
Oestrogen yang digunakan dalam Hormonal
Replacement Therapy (HRT) dapat mengurangi clearance ropinirole.
Berdasarkan
pengamatan secara invitro menunjukkan sitokrom P45o dengan isoenzim CYP1A2 yang
sebagian besar bertanggung jawab terhadap metabolisme ropinerole, dengan CYP3A
yang mempunyai sedikit peranan dalam metabolisme ropinirol. Adanya interaksi
dengan obat-obat yang merangsang atau menghambat CYP1A2.
Penggunaan
bersama dengan obat-obat seperti cimetidin, ciprofloxacin dan fluvoxamine dapat
miningkatkan efek ropinirenol, maka jika digunakan bersamaan dosis ropinerol
hendaknya dikurangi.
33. Selegine + Antidepressant
Beberapa
kasus sindrom serotonin dan kerusakan serius pada SSP telah terlihat pada
penggunaan selegiline dan trisiklik antidepresan atau SSRI S .
v SSRIS
a.
Citalopram
Pengamatan
dilakukan secara acak terhadap 18 orang , dimana tidak menunjukkan adanya
interaksi farmakodinamik dan farmakokinetik pada penggunaan bersama citalopram
dan selegiline. Pemberian 20 mg citalopram sekali dalam sehari untuk pemakaian 10 hari dimana 4 hari citalopram
digunakan bersama selegiline dengan pemberian dosis 10 mg sekali sehari. Tidak
ada bukti yang menunjukkan adanya perubahan, teteapi bioavaibilitas selegiline
sedikit berkurang sekitar 30% dengan adanya citalopram. Tetapi dapat
disimpulkan bahwa tidak ada interaksi klinik yang terjadi diantara selegiline
dan citalopram.
v Antidepresan Tetrasiklik
Pada
seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride,
maprotiline, teofilin, efedrin menyebabkan hipertensi (tekanan darah 300/150 mg),
vasokonstriksi, bingung, nyeri perut, berkeringat dan takikardi (110 bpm)
meningkatkan dosis teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut diberhentikan
penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut sembuh
dalam waktu yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah
‘pseudophaeochromocytoma’ yang disebabkan oleh selegiline/maprotilen/interaksi
efedrin.
v Antidepresan Trisiklik
Pada
tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan
antidepresan trisiklik, yang berhubungan dengan adanya sindrom serotonin. Oleh
karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa penggunaan bersama selegiline dengan
antidepresan trisiklik harus dihindari.
Salah
satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan
antidpresan (termasuk trisiklik) hanya ditemukan 11 orang (0,24%) yang
mengalami sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang mengalami gejala yang
serius.
Penelitian
lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi
selegiline dan antidepresan trisiklik yang diidentifikasi dari 28 pasien yang
menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan pengamatan, 17 pasien sudah pasti
menerima kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima
kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan
pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi
selegiline-trisiklik tidak ditemukan adanya kasus serotonin sindrom.
v Antidepresan lainnya
a.
Trazodone
Berdasarkan
pengamatan pada pasien dengan penyakit Parkinson dengan selegiline 5-10 mg
perhari (dan obat antiparkinson lainnya seperti levodopa/carbidopa,
bromocriptin, amantadin, pergolide antikolinergik) menyebutkan bahwa penambahan
tazadone 25 sampai 150 mg perhari menyebabkan tidak adanya efek samping dan
pasien menunjukkan bahwa adanya manfaat dari kombinasi tersebut, termasuk
peningkatan gejala-gejala parkinson
b.
Venlafaxine
Seseorang
dengan peningkatan sindrom serotonin 15 hari setelah memberhentikn penggunaan
selegiline 50 mg (perhari)dan selama 30 menit pada awal penggunaan venlafaxine
37,5 mg.
34. Selegiline + Cocain
Cocain
dan selegiline tidak berinteraksi secara langsung
Berdasarkan
pengamatan terhadap 5 orang yang diberikan cocaine dengan dosis 0,20 dan 40 mg,
lalu satu jam kemudian diberikan selegiline dengan dosis 10 mg secara oral.
Maka, Coccaine akan meningkatkan denyut jantung,tekanan darah, diameter pupil
dan euphoria. Bagaimanapun, pemberian selegiline mengurangi diameter pupil,
tetapi tidak merubah dilatasi pupil atu efek lainnya yang ditimbulkan setelah
pemberian cocaine. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut aman
jika digunakan secara bersamaan dan tidak menguatkan efek cocaine.
INTERAKSI OBAT DENGAN UJI LAB
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Agar dapat memantau keadaan kesehatan kita, perlu
dilakukan tes laboratorium secara berkala.
Pemeriksan laboratorium adalah
suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan/sample
dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), atau
sample dari hasil biopsy
Tujuan pemeriksaan
laboratorium yaitu :
1.
Mendeteksi
penyakit
2.
Menentukan
resiko
3.
Memantau
perkembangan penyakit
4.
Memantau
pengobatan dan lain-lain
5.
Mengetahui
ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensi membahayakan.
Dalam makalah
ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah
penggunaan obat oleh pasien sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian
kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan
meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan
mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan
apus darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
PENDAHULUAN
Kesehatan
merupakan hal yang penting dalam kehidupan, bila kita sakit kita tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa apalagi bagi orang-orang yang
memang memiliki aktivitas yang banyak atau jadual yang padat, mereka akan
merasa merugi karena terganggu dan terhambat aktivitasnya. Belum lagi bagi
mereka yang teryata terkena penyakit yang parah maka akan membutuhkan biaya
yang mahal untuk memulihkan kesehatannya. Adapun pepatah mengatakan “kesehatan
itu mahal harganya” oleh krena itu kita harus selalu menjaga dan memelihara
kesehatan tubuh kita dengan salah satunya pola hidup sehat mengkonsumsi
makan-makanan yang bergizi (sayur, buah, susu), mengkonsumsi multivitamin bila
perlu, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari atau memiimalkan
stress dengan refreshing di akhir pekan dan kegiatan positif lainnya.
Agar dapat
memantau keadaan kesehatan, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala,
dengan panel pemeriksaan laboratorium, sehingga kita
tahu bagaimana keadaan tubuh kita sebenarnya. Tes laboratorium bisa dilakukan
setahun sekali sebagai bagian dari pemeriksaan rutin, untuk megetahui
parameter kesehatan
kita. Tapi karena tes check up gini biasanya tidak murah, maka jarang sekali
orang melakukan tes rutin tahunan. Biasanya tes cuma dilakukan bila dokter menemukan
indikasi suatu penyakit,
dan harus dipastikan diagnosanya dengan tes lab.
Berikut adalah contoh
brosur dari Laboratorium
Prodia seputar tes-tes rutin (dan non rutin) yang biasa dilakukan:
- Panel Check Up Kesehatan, bertujuan untuk mengetahui kualitas kesehatan secara umum, baik yang menyangkut fungsi organ maupun keadaan metabolisme tubuh.
- Panel Premarital, untuk mendeteksi adanya penyakit menular, menahun atau diturunkan, yang dapat mempengaruhi kesuburan pasangan maupun kesehatan rutin.
- Panel Awal Kehamilan, untuk mengetahui adanya penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu hamil maupun janinnya.
- Panel Demam, untuk mengetahui penyebab demam.
- Panel Torch, untuk mengetahui adanya infeksi dan status kekebalan terhadap parasit tosoplasma, virus rubella, cytomegalovirus dan virus herpes tipe 2 yang dapat mempengaruhi janin.
- Panel Pengelolaan Diabetes Mellitus, untuk memantau hasil pengobatan dan mendeteksi factor resiko komplikasi Diabetes Mellitus.
- Panel Lemak, untuk mengetahui kadar berbagai jenis lemak yang penting dalam proses terjadinya penyumbatan pembuluh darah (Aterosklerosis).
Setiap laboratorium menentukan nilai 'normal', yang ditunjukkan pada kolum
'Nilai Rujukan' atau 'Nilai Normal' pada laporan laboratorium. Nilai ini
tergantung pada alat yang dipakai dan cara pemakaiannya. Tubuh manusia tidak
seperti mesin, dengan unsur yang dapat diukur secara persis dengan hasil yang
selalu sama. Hasil laboratorium dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai
faktor, diantaranya : jam berapa contoh darah atau cairan lain diambil; infeksi
aktif; tahap infeksi HIV; dan makanan (untuk tes tertentu, contoh cairan harus
diambil dengan perut kosong tidak ada yang dimakan selama beberapa jam).
Kehamilan juga dapat mempengaruhi beberapa nilai. Oleh karena faktor ini, hasil
lab yang di luar normal mungkin tidak menjadi masalah.
Tidak ada standar nilai rujukan; angka ini diambil terutama dari
laboratorium RSCM, Jakarta; nilai laboratorium lain dapat berbeda. Jadi angka
pada laporan kita harus dibandingkan dengan nilai rujukan pada laporan, bukan
dengan nilai rujukan pada lembaran ini. Bahaslah
hasil yang tidak normal dengan dokter.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai jenis tes dan range angka normal,
dapat di lihat pada Lembaran Informasi beberapa pemeriksaan yang umum dilakukan di laboratorium hitung darah lengkap, tes kimia darah, gula, lemak darah, fungsi organ
ginjal, fungsi hati. Pada tabel ini, bila ada beda tergantung pada jenis
kelamin, angka ditunjukkan sebagai ‘P’ untuk perempuan dan ‘L’ untuk laki-laki.
Darah
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Eritrosit (sel darah merah)
|
juta/µl
|
4,0 – 5,0 (P)
4,5 – 5,5 (L) |
Hemoglobin (Hb)
|
g/dL
|
12,0 – 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L) |
Hematokrit
|
%
|
40 – 50 (P)
45 – 55 (L) |
Hitung
Jenis
|
||
Basofil
|
%
|
0,0 – 1,0
|
Eosinofil
|
%
|
1,0 – 3,0
|
Batang1
|
%
|
2,0 – 6,0
|
Segmen1
|
%
|
50,0 – 70,0
|
Limfosit
|
%
|
20,0 – 40,0
|
Monosit
|
%
|
2,0 – 8,0
|
Laju endap darah (LED)
|
mm/jam
|
< 15 (P)
< 10 (L) |
Leukosit (sel darah putih)
|
103/µl
|
5,0 – 10,0
|
MCH/HER
|
Pg
|
27 – 31
|
MCHC/KHER
|
g/dL
|
32 – 36
|
MCV/VER
|
Fl
|
80 – 96
|
Trombosit
|
103/µl
|
150 – 400
|
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja, dengan nilai rujukan 50,0–75,0 persen |
Fungsi Ginjal
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Kreatinin
|
U/L
|
60 – 150 (P)
70 – 160 (L) |
Urea
|
mg/dL
|
8 – 25
|
Natrium
|
mmol/L
|
135 – 145
|
Klorid
|
mmol/L
|
94 – 111
|
Kalium
|
mmol/L
|
3,5 – 5,0
|
Fungsi Hati
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
ALT (SGPT)
|
U/L
|
< 23 (P)
< 30 (L) |
AST (SGOT)
|
U/L
|
< 21 (P)
< 25 (L) |
Alkalin fosfatase
|
U/L
|
15 – 69
|
GGT (Gamma GT)
|
U/L
|
5 – 38
|
Bilirubin total
|
mg/dL
|
0,25 – 1,0
|
Bilirubin langsung
|
mg/dL
|
0,0 – 0,25
|
Protein total
|
g/L
|
61 – 82
|
Albumin
|
g/L
|
37 – 52
|
Profil Lipid
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Kolesterol total
|
mg/dL
|
150 – 200
|
HDL
|
mg/dL
|
45 – 65 (P)
35 – 55 (L) |
Trigliserid
|
mg/dL
|
120 – 190
|
Lain-lain
Ukuran
|
Satuan
|
Nilai Rujukan
|
Glukosa (darah, puasa)
|
Mg/dL
|
70 – 100
|
Amilase
|
U/L
|
30 – 130
|
Asam Urat
|
Mg/dL
|
2,4 – 5,7 (P)
3,4 – 7,0 (W) |
Beberapa Tes laboratorium yang sering dilakukan diantaranya ialah :
Tes darah lengkap
Tes ini mengukur tiap komponen
dalam darah. Tes darah lengkap sangat penting karena beberapa jenis obat-obatan
dapat menyebabkan rendahnya jumlah darah merah atau darah putih, yang kemudian
dapat menyebabkan anemia atau kelainan darah lain. Tes ini mengukur jumlah sel
darah putih, hemoglobin, hematocrit dan platelet dalam darah. Dengan
menggunakan tes ini, jumlah sel darah putih yang tinggi dapat berarti tubuh
melakukan perlawanan terhadap infeksi yang mungkin tidak terdeteksi; jumlah sel
darah merah yang rendah dengan hemoglobin dan hematocrit bisa jadi merupakan
anemia akibat konsumsi obat; dan jumlah platelet yang rendah dapat mempengaruhi
pembekuan darah.
Skrining kimia darah
Tes ini merupakan skrining umum
untuk mengukur apakah organ-organ tubuh anda (jantung, hati, ginjal, pankreas),
otot dan tulang, bekerja dengan benar dengan mengukur kimia-kimia tertentu
dalam darah. Tes ini penting untuk mendeteksi infeksi atau efek samping obat.
Salah satu fokus terpenting dalam tes ini adalah monitor enzim hati. Hati
merupakan organ tubuh penting karena hati membantu memproses obat-obatan, dan
karena obat-obatan ini menuntut lebih banyak dari hati anda, ada kemungkinan
terjadi toksisitas hati yang dapat mempengaruhi kesehatan umum anda. Albumin,
alkalin, fosfat dan bilirubin juga perlu dimonitor untuk memastikan hati anda
bekerja dengan baik. Fokus penting lain adalah untuk memonitor tingkat lipid
jantung anda. Tes ini membantu memonitor kolesterol LDL (kolesterol jahat),
kolesterol HDL (kolesterol sehat) serta trigliserida. Mengenal jenis-jenis
lipid ini sangatlah penting untuk membantu memonitor kemungkinan penyakit
jantung. Tes kimia darah ini sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan, hasilnya
dapat diperoleh dalam dua atau tiga hari kerja.
Tes laboratorium merupakan bagian
penting dari perawatan kesehatan komprehensif
dengan membantu memonitor perkembangan penyakit di dalam tubuh. Tes-tes
ini dapat menjadi indikator untuk mendeteksi masalah-masalah kesehatan. Namun,
ketika anda menggunakan hasil lab sebagai perbandingan dalam memonitor
kesehatan anda, perlu juga untuk memahami bahwa suatu hasil tes yang tidak
terduga belum tentu mengindikasikan adanya masalah kesehatan yang serius, yang
lebih penting adalah untuk melihat tren dari hasil tes dalam jangka waktu
tertentu, daripada hanya berpatokan pada satu hasil tes saja. Selain itu,
terdapat banyak faktor dapat membuat hasil tes darah anda berbeda, ingatlah:
bila anda tidak nyaman dengan tes darah pertama anda, minta dokter untuk
mengulang tes. Penting untuk semua orang untuk memiliki pengertian umum tentang
cara membaca ringkasan hasil tes laboratorium. Namun, lebih penting lagi untuk
berbicara dengan dokter anda mengenai hasil lab anda dan minta kepadanya untuk
mengartikan hasil tes dan bagaimana hasil tersebut dapat mempengaruhi
perencanaan pengobatan anda.
Macam-macam uji laboratorium:
·
Alkalin Fosfatase
Merupakan suatu enzym yang dibuat di
liver, tulang dan plasenta dan biasanya ada dalam konsentrasi tinggi pada saat
pertumbuhan tulang dan didalam empedu. Enzim ini menghidrolisis ester fosfat
dalam medium alkali.
Alkalin fosfatase dilepaskan kedalam
darah pada saat luka dan pada aktivitas
normal seperti pada pertumbuhan tulang dan pada saat kehamilan. Tingginya
tingkat alkalin fosfat dalam darah mengindikasikan adanya penyakit dalam tulang
atau lever dan konsentrasi akan meningkat jika terjadi obstruksi aliran empedu.
Tes untuk alkalin fosfat dikerjakan
untuk mendiagnosa penyakit-penyakit liver atau tulang, atau untuk melihat
apakah pengobatan untuk penyakit tersebut bekerja.
Uji alkalin fosfat ada dalam tes darah
rutin, termasuk dalam bagian tes fungsi liver. Kisaran normal alkalin fosfat
dalam darah adalah 44 sampai 147 IU/L.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi
konsentrasi alkalin fosfat diantaranya ialah :
1.
Obat AINS
Dapat menurunkan angka alkalin fosfatase
2.
Parasetamol
Meningkatkan angka
alkalin fosfat
Mekanisme : Parasetamol dapat mengganggu metabolisme sel
hati yang dapat menyebabkan nekrosis. Terjadinya nekrosis ini akan meningkatkan
angka alkalin fosfatase.
·
Bilirubin
Bilirubin (pigmen
empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting,
namun merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel
darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu.
Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah
yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian
dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu.
Obat-obat yang mempengaruhi Bilirubin:
1.
Fenobarbital
Dapat menurunkan kadar
bilirubin
Fenobarbital meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase (enzim yang digunakan pada konyugasi dengan asam glukuronat
sehingga dengan cepat diekskresi melalui empedu dan urin)
2.
Estrogen, Steroid Anabolik
Dapat meningkatkan kadar bilirubin
Menyebabkan
penurunan ekskresi bilirubin. Hal ini menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan karena terjadinya gangguan transfer
bilirubin melalui membran hepatosit yang sehingga terjadi retensi bilirubin
dalam sel
Obat-obat
yang mempunyai mekanisme yang sama adalah halotan (anestetik), isoniazid, dan
klorpromazin
·
Glukosa
Obat-obat yang mempengaruhinya:
1. Atenolol
Interaksi dengan
test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot
rangka sehingga mengurangi efek hiperglikemia dari epinefrin yang dilepaskan
oleh adanya hipoglikemia sehingga kembalinya kadar gula pada hipoglikemia
diperlambat.
2.
Kortikosteroid golongan glukokortikoid
Interaksi dengan
test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi
penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan
penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glukosa.
Kadar normal: 7-20mg/DL
·
Blood Urea Nitrogen (BUN) test
BUN adalah konsentrasi urea pada plasma
atau darah yang merupakan indikator penting fungsi ginjal. Test ini digunakan
untuk melihat apakah ginjal bekerja dengan baik atau tidak dimana pada fungsi
ginjal normal, kadar urin nitrogen adalah 3,6-7,1 mmol/L atau 10-20/dL. BUN
test dilakukan dengan mengukur jumlah nitrogen yang berada dalam darah yang
berasal dari urea.
Obat yang mempengaruhi:
1.
Furosemid
Furosemid dapat meningkatkan BUN
Mekanisme: furosemid adalah obat golongan diuretik kuat
yang dapat menyebabkan ekskresi
glomerular sodium dan air yang tinggi (20-30%), sehingga menyebabkan dehidrasi.
Jika terjadi dehidrasi maka aliran darah ke ginjal menjadi berkurang.
2.
Vankomisin
Vankomisin dapat meningkatkan Blood Urea Nitrogen
Mekanisme: Vankomisin dapat menyebabkan
ginjal tidak bekerja dengan baik, pengeluaran urea
nitrogen menjadi terhambat sehingga kadarnya
dalam darah meningkat.
3.
Piroksikam
Piroksikam sedikit
dapat meningkatan kadar BUN pada permulaan terapi yang kemudian menetap kadarnya (plateau) seperti halnya pada pengobatan dengan fenilbutazon, indometasin dan aspirin. Prostaglandin pada ginjal merupakan hormon dalam pengaturan sirkulasi darah di dalam medula dan korteks
adrenal.
Mekanisme kerja:
Penghambatan
sintesis prostaglandin oleh obat ains menyebabkan kenaikan kadar Blood Urin Nitrogen
Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya
dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya terdapat dalam sel hati dalam jumlah
yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya
dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran sel terganggu
·
SGOT (Serum
Glutamat Oksaloasetat trans)
Penurunan kadar
SGOT terjadi pada saat kehamilan, diabetik ketoasidosis dan beri-beri, sedangkan
peningkatan kadar SGOT pada kondisi infark miokard akut (IMA),
ensefalitis, nekrosis, hepar, penyakit
dan trauma muskuloskeletal, pankreatiis akut, eklampsia, dan gagal jantung
kongestif.
Obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT : Antibiotik, narkotik, vitamin
(asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa, guanetidin),
teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam, indometasin, isoniasid,
rifampisisn, kontrasepsi oral, salisislat, injeksi intramuskular.
1.
Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati
yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Sehingga hal ini
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
·
Serum Glutamat
Piruvat Transaminase (SGPT)
Peningkatan Kadar : Hepatitis (virus) akut,
hepatotoksisitas yang menyebabkan nekrosis hepar (toksisitas obat atau kimia);
agak atau meningkat sedang : sirosis, kanker hepar, gagal jantung kongestif,
intoksikasi alkohol akut; peningkatan marginal: infark miokard akut (IMA)
Obat yang dapat meningkatkan SGPT : Antibiotik, narkotik,
metildopa, guanetidin, sediaan digitalis, indometasin, salisilat, rifampisin,
flurazepam, propanolol, kontrasepsi oral, timah, heparin.
1.
Rifampisin
Mekanisme Kerja: Rifampisin dapat meningkatkan
hepatotoksik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase.
·
Kolesterol
Obat-obat yang dapat
menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin, antibiotik (tetrasiklin dan neomisin), asam
nikotinik, heparin, kolkisin.
Obat-obat yang dapat
meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin, fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid, fenitoin
(Dilantin).
1.
Vitamin C dosis tinggi
menurunkan kadar kolestesterol melalui mekanisme:
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
![*](file:///C:\Users\antho\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
·
Trigliserida
Penurunan kadar : β-lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme, malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan
nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar :
Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, trombosis
serebral, sirosis alkoholik, DM yang tidak terkontrol, sindrom Down’s, stress,
diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme :
Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus .
Metformin hanya mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan hiperglikemia
serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat tunggal.
·
Kreatinin
Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari
hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal.
Normalnya kadar kreatinin dalam darah 0,6 – 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal
menurun, kadar kreatinin darah bisa meningkat.
1.
Obat
Golongan AINS
Obat golongan ini : diklofenak, indometasin, asetosal,
ibuprofen, piroksikam, asam mefenamat, ketoprofen, naproksen, meloksikam,
oksaprozin, dll
Obat golongan ini dapat menyebabkan resiko menurunnya
fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam
darah.
2.
Amfoterisin
B
Amfoterisin
B dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus yang juga berakibat pada
penurunan fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar
kreatinin dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara,
G.S., 1995. Farmakologi dan Terapi,
Ed. IV. Bagian farmakologi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
Gaya Baru
Yulinah Elin, dkk. 2008.ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN IO
PENDAHULUAN
Waspada
terhadap masalah yang muncul akibat dari interaksi obat, penting bagi farmasis
yang bekerja di rumah sakit maupun di apotek. Untuk mencegah interaksi obat,
seorang farmasis harus waspada terhadap semua obat yang digunakan oleh pasien
tersebut, baik obat yang diresepkan maupun obat yang dapat dibeli bebas. Di
rumah sakit, hal ini melibatkan farmasis untuk melihat daftar obat dan rekam
medik pasien rawat inap; di apotek, menggunakan catatan medik pasien
terkomputerisasi; dan secara umum, komunikasi dengan pasien, keluarga pasien
dan dengan tim kesehatan yang lain. Pendekatan yang menyeluruh dianjurkan,
dengan dititikberatkan pada pasien dan pengobatannya secara keseluruhan, tidak
semata-mata memperhatikan reaksi yang timbul, namun juga terhadap keluhan akut
berhubungan dengan penggunaan obat tertentu.
Seorang
farmasis harus proaktif, mengantisipasi interaksi obat yang mungkin terjadi dan
bertindak sebelum muncul masalah, bukan sekedar reaktif yang hanya bertindak bila interaksi obat
telah terjadi. Salah satu tujuan utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian
adalah untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu, memeriksa adanya
interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai tambahan,
pendekatan ini dapat ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis
secara umum dalam mendorong peningkatan kualitas.
Dengan
meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat
ini, dan berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat
sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beribu-ribu laporan interaksi obat yang
tidak diinginkan muncul di literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang
bermakna secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau
memperkirakan terjadinya kejadian dimana interaksi obat yang potensial terjadi
mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian,
langkah-langkah apa yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi
alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat.
Untuk
memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat,
seorang farmasis perlu memiliki:
-
Pengetahuan
praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.
-
Waspada
terhadap obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan interakis obat.
-
Persepsi
terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat.
DEFINISI
Interaksi
obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih
obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap
rokok, etanol dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat.
Bila mana kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan
atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan
sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi
obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan
mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan.
Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker
dapat berguna dalam pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi
fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama,
mengakibatkan pengendapan atau inaktivasi. Bagaimanapun, bab ini akan dititik
beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan
perawatan pasien.
EPIDEMIOLOGI
Banyak
penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan
kejadian interaksi obat yang betul-betul merugikan atau membahayakan pasien.
Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi. Kejadian interaksi obat yang
mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian
pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada
pasien di masyarakat (Jankel CA &
Speedie SM, 1990). Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang
benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada
suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk rumah sakit,
ditemukan 68 (9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4
%) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton
LA et al, 1994). Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin
kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna
klinis, tetapi kemungkinan kejadian interaksi obat tersebut jumlahnya cukup
kecil (kurang dari 1 %).
Interaksi
obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif
jarang terjadi. Meskipun kejadian interaksi obat yang bermakna klinis kecil,
tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko morbiditas (angka kesakitan) atau
bahkan mortalitas (angka kematian) dalam pengobatan mereka.
MEKANISME
INTERAKSI OBAT
Ada
beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun
mekanisme tersebut sering dijumpai. Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi
interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi obat yang
mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal
merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme.
1.
Interaksi farmakokinetik
Interaksi
farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme, ekskresi (tabel.1)
Tabel.1 Interaksi farmakokinetik obat
|
a.
Absorpsi
di saluran pencernaan
· Kecepatan
· Jumlah
b.
Ikatan
obat protein (pendesakan obat)
· Obat bebas (aktif)
· Obat terikat (tidak aktif)
c.
Metabolisme
hepatik
· Induksi enzim (penurunan konsentrasi
obat)
· Inhibisi enzim (peningkatan
konsentrasi obat)
d.
Klirens
ginjal
·
Peningkatan
ekskresi (penurunan konsentrasi obat)
·
Penurunan
ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)
|
a.
Absorpsi
Kebanyakan
obat diberikan secara oral mengabsorbsi melalui membran mukosa dari saluran
gastrointestinal. Dan kebanyakan interaksi yang terjadi menurunkan absorbsi
daripada meningkatkan absorbsi. Perbedaan yang jelas terdapat pada penurunan
laju absorbsi dan mengubah absorbsi secara keseluruhan. Obat yang diberikan
untuk penyakit kronis dalam dosis regimen multiple (contohnya: antikoagulan
oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan tetapi absorbsi secara
keseluruhannya tidak diubah. Selain obat yang diberikan dalam dosis tunggal
dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat hipnotik atau analgesik),
sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian tersebut.
Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik pada
pencapaian efek terapi.
Tabel
2. Beberapa obat yang menyebabkan interaksi absorpsi
Obat
|
Interaksi obat
|
Efek interaksi
|
Digoksin
|
Metoklopramide
Propantelin
|
Menurunkan
absorpsi digoksin
Peningkatan
absorpsi digoksin
|
Digoksin
Levotiroksin
Warfarin
|
Kolestiramin
|
Menurunkan
absorpsi karena adanya pengkatan/kompleks dengan kolestiramin
|
Ketokonazol
|
Antasida
H2
bloker
Penghambat
pompa proton
|
Menurunkan
absorpsi ketokonazol karena penurunan disolusi
|
Penicilamin
|
Antasida
(Al3+ atau Mg2+), preparat besi dan makanan
|
Pembentukan
khelat penisilamin terlarut sedikit sehingga menyebabkan penurunan absorpsi
penisilamin
|
Metoreksat
|
Neomisin
|
Menginduksi
malabsorpsi
|
Antibiotic
kuinolon
|
Antasida
(Al3+ atau Mg2+), susu, Fe2+
|
Pembentukan
kompleks absorpsi yang buruk
|
tetrasiklin
|
Antasida
(Al3+, Mg2+, Ca2+ atauBi2+),
susu, Zn2+, Fe2+
|
Pembentukan
khelat terlarut yang buruk sehingga menyebabkan penurunan absorpsi antibiotic
|
·
Efek
dari perubahan pada pH saluran cerna
Perjalanan obat melalui membran mukosa
melalui difusi pasif tergantung pada jumlah
bentuk non ionik larut lemak .Maka dari itu absorpsi bergantung pada pKa
obat, kelarutan dalam lemak, pH saluran cerna dan parameter lain yang
berhubungan dengan formulasi farmasetik obat. Oleh karena itu absorpsi asam
salisilat dalam lambung lebih besar pada pH asam daripada pH basa. Secara
teoritis diharapkan perubahan pH lambung oleh obat seperti H2 bloker
memiliki efek absorpsi yang bermakna, tetapi kenyataannya tidak terlalu pasti
karena adanya mekanisme lain seperti khelasi, adsorpsi, dan perubahan motilitas
lambung yang dapat mengubahnya. Namun pada beberapa kasus efek dapat
signifikan. Peningkatkan pH akibat hambatan pompa proton, H2 bloker dan
antasida dapat mengurangi absorpsi Ketokonazol secara bermakna
·
Adsorpsi,
khelasi dan mekanisme pembentukkan kompleks lain
Arang aktif ditujukan sebagai agen
adsorpsi dalam saluran cerna untuk pengobatan over dosis obat atau
menghilangkan zat toksik, tetapi pasti akan mengubah absorpsi obat pada dosis
terapeutik. Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar obat, tetapi
mekanisme lain juga berpengaruh. Contohnya tetrasiklin dapat mengkhelat logam
divalen dan trivalen seperti kalsium, aluminium, bismuth dan besi, membentuk
kompleks yang sangat sulit diabsorpsi dan mengurangi efek anti bakteri.
Ion logam dapat ditemukan pada produk
susu dan antasida. Pembagian dosis terpisah 2 sampai 3 jam dapat mengurangi
efek interaksi ini. Reduksi bioavailibilitas penisilamin berkurang secara
bermakna disebabkan antasida juga karena khelasi meskipun adsorpsi juga berpengaruh.
Kolestiramin dan resin penukar ion ditujukan untuk mengikat asam empedu dan
metabolik kolesterol dalam saluran cerna, mengikat sejumlah obat seperti
digoksin, warfarin, levotiroksin sehingga absorpsi obat berkurang. (Tabel. 2)
daftar obat yang dapat mengkhelat, mengkompleks atau adsorpsi obat lain.
Beberapa
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dalam dosis rendah mempunyai
risiko hamil bila pada saat yang sama, dia juga menggunakan antibiotik
berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya
adalahgangguan siklus enterohepatik komponen estrogen akibat hilangnya bakteri
usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat
lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung, sebagai contoh
metoklorpropamid mempercepat waktu pengosongan lambung, sedangkan opiat
memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas levodopa berkurang
bila digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini terjadi karena
perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan paparan levodopa dengan
metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih
mempengaruhi kecepatan absorbsi obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi.
Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan
absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian
besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak bermakna secarak klinis
dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang
waktu meminum 2 jam.
b.
Distribusi
Interaksi
pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan
protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan
protein tersebut. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi
obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan
metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun menyesuaikan dengan
peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan
obat-obat yang ikatannya dengan protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan
tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila
pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik.
c.
Metabolisme hepatik
Banyak
obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450
monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim
melibatkan sintesa protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga
minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim
merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim.
Banyak
enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P450.
Sebagai contoh, warfarin dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik
(dimetabolisme oleh sistem oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed function oxidase P450 system) sehingga
penghambat enzim seperti simetidin dan antibiotik golongan makrolida
(eritromisin, klaritomisin) memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya,
penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat
meningkatkan atau menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan
terapeutik warfarin. Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan kadar lofastatin
dalam darah karena eritromisin menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang
menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan
makanan yang kaya karbohidrat mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain,
seperti asap rokok dan etanol dapat meningkatkan aktifitas enzim hati.
Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi
keefektifan obat-obat tertentu.
d.
Eliminasi
Obat
dieliminasi melalui ginjal denga
filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang
mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat
lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang
mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat
yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Gangguan pada proses ini terutama
digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium.
Kuinidin,
verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum
hingga dua kali lipat dengan menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal)
digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid dan bumetanid dengan efek yang
lebih lemah, menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi Litium
dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan Litium yang
serius.
Metotreksat
dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) berkompetisis dalam ekskresi melalui
ginjal; penggunaan secara bersamaan obatobat tersebut dapat meningkatkan kadar
metotreksat dan meningkatkan risiko toksisitas, namun kombinasi ini tetapa
dapat diberikan dengan berhasil di bawah supervisi khusus. Yang perlu
diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah tergantung pada jumlah obat
dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal.
Asam
lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian sistem transpor tubuler ginjal
yang berbeda. Hal ini merupakan dasar penggunaan probenesid untuk meningkatkan
konsentrasi penisilin atau sefalosporin dalam darah. Probenesid juga
meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina mengurangi ekskresi
prokainamid dengan cara yang sama.
2.
Interaksi Farmakodinamik
a.
Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang palng
umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel
atau inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang
mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat contohnya Etanol,
antihistamin, benzodiazepine (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan,
bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazin, tioridazin, lufenazin,
perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat
meningkatkan efek sedasi.
Semua
obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat platelet, dan meningkatkan efek antikoagulan warfarin.
Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang sangat berbahaya bagi pasien
yang memperoleh pengobatan dengan diuretic hemat kalium (contoh amilorida,
triamteren) dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh captopril,
enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan).
Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol (dan pengeblok beta yang lain),
keduanya memiliki efek inotropik negative, dapat menimbulkan gagal jantung pada
pasien yang retan.
b.
Antagonisme
Sebaliknya, antagonisme terjadi bila
obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.
Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta-agonis
dengan obat yang bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk pengobatan asma
dengn propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme);
vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti diabet.
Beberapa
antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme yang antagonis. Sebagai
contoh, bakterisida, seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel
bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat
maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang
bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang menghambat sintesa protein
dan juga pertumbuhan bakteri.
c.
Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui
mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali
fisiologis atau biokimia. Pengeblok beta no-selektif seperti propanolol dapat
memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemia pada pasien diabet yang diobati
dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen.
Respons kompensasi ini diperantarai oleh reseptor beta Znamun obat
kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respons hipoglikemia
apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagi pula obat-obat pengeblok beta
mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi
tanda-tanda bahaya hipoglikemia; efek simpatik ini lebih penting dibandingkan
dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi diatas.
d.
Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam
plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid atau amfoterisina
akan meningkatkan risiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama,
hipokalemia
3.
Interaksi Farmasetik
Disebut sebagai Drug
incompatibility yaitu tidak dapat bercampurnya obat interaksi yang terjadi
karena adanya perubahan/reaksi fisika
dan kimia antara 2 obat atau lebih yang dapat
dikenal/dilihat,yang berlangsung diluar tubuh dan mengakibatkan aktivitas farmakologi
obat tersebut hilang/berubah
Contoh
:
1. Hidrolisis
aspirin
+ Na-bikarbonat à gummy (aspirin terhidrolisis)
2. Perubahan pH Oksitetrasiklin-HCl +
Difenhidramin à presipitat
3. Degradasi sinar matahari
Fenitoin-Na à kekeruhan (fenitoinlepas)
Teofilin à perubahan warna
INTERAKSI
OBAT atau BERMAKNA KLINIS
Contoh
obat-obat yang interaksinya bermakna klinis :
·
Obat
yang rentang terapinya sempit
Antiepilepsi,
digoksin, lithium, siklosporin, teofilin dan warfarin.
·
Obat
yang memerlukan pengaturan dosis teliti
Obat
antidiabetes oral, antihipertensi
·
Penginduksi
enzim
Asap
rokok, barbiturat (contoh fenobarbital), fenitoin, griseofulvin, karbamazepin,
rifampisin
·
Penghambat
enzim
Amiodaron,
diltiazem, eritromisin, fluoksetin, ketokonazol, metrodinazol, natrium
valproat, simetidin, ciprofloksasin., verapamil.
Pencegahan terhadap interaksi obat
Farmakokinetik dan Framakodinamik :
1.
Hindari
kombinasi obat yang berinteraksi dan jika dibutuhkan pertimbangan obat
pengganti
Jika terjadi resiko interaksi pemakaian
obat daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat
pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada interaksi obat tersebut
apakah merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau
merupakan efek obat yang sepsifik.
Contoh :
Kortikosteroid dengan obat diuretic
dapat menyebabkan kehilangan banyak kalium sehingga tubuh menjadi lemas,
aritmia jantung, tekanan darah rendah
Pencegahannya adalah dapat menggunakan
diuretic hemat kalium untuk menghindari interaksi obat yang terjadi.
Simetidin memperlambat metabolisme
hepatic oksidatif obat dengan mengikat mikrosomal sitokrom P450 (menghambat
enzim) sedangkan antagonis H2 yang lain, Ranitidin tidak bermakna dalam
menghambat metabolisme hepatic mikrosomal obat.
2.
Sesuaikan
dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan
interaksi yaitu dengan cara pengurangan dosis ( jika terjadi toksik),
peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan khasiat)
Jika hasil interaksi obat meningkatkan
atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu
atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau menghentikan penggunaan bat
yang menyebabkan interaks.
·
Penurunan
dosis
Penggunaan atropine dengan CTM
menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan efek mulut kering lebih
hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik yang kuat, penggunaan
obat ini secara bersamaan dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target
organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas terhadap efek obat menjadi
lain, untuk menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis pemiliharaan glikosida jantung
digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya pada saat kita mulai memberikan
Amiodaron (Antiaritmia).
·
Peningkatan
dosis
Kombinasi fenitoin dengan asam folat
dapat menyebabkan efek asam folat berkurang akibatnya kemungkinan dapat terjadi
defisiensi asam folat. Untuk menghindarinya dapat digunakan tambahan vitamin
yang mengandung 1 mg asam folat. Tetapi jika asam folat terlalu banyak akan
dapat menurunkan efek dari fenitoin.
3.
Lakukan
pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan diperlukan untuk pasien yang
menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu, obat yang indeks terapi sempit, yang respon segaranya
sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam darah dan efek terapi
diperkirakan saling berhubungan.
Contoh : hipoglikemia agent dengan
fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat menghambat ekskresi
renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif dari acetoheksamid
sehingga obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek dari hipoglikemik
meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat menhambat metabolism dari
sulfonamide. Cara pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon dengan
hipoglikemia agent) secara bersama-sama harus dipantau.
4.
Interval
waktu antara obat dengan makanan
Contoh :penggunaan tetrasiklin dengan
obat pencahar, susu, dan Fe dapat menyebabkan interaksi dengan menurunkan efek
dari tetrasiklin. Cara pencegahannya adalah jangan menelan secara bersama-sama
dalam jangka waktu dua jam. Sebaiknya di minum di antara dua waktu makan
5.
Lanjutkan
pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut
merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi yang terjadi tidak
bermakna secara klinis.
Pencegahan
interaksi farmasetik:
ü obat intravena diberikan secara
suntikan bolus
ü hindari pemberian obat lewat cairan
infuse kecuali cairan glukosadansalin
ü hindari pencampuran obat dalam cairan
infuse atau jarum suntik
ü bacalah petunjuk pemakain obat dari
brosurnya
ü mencampur cairan infuse dengan seksama
dan amati adanya perubahan. Tdk ada perubahan belum tentu tdk ada interaksi
ü Penyiapan larutan obat hanya kalau
diperlukan
ü Bila lebih dari 1 obat yang diberikan
secara bersamaan, gunakan jalur infuse yang berbeda kecuali yakin tidak ada
interaksi
ü Jam pencampuran obat dan cairan infu
harus dicatat dalam label. Dan tuliskan infuse harus habis
Contoh interaksi obat dan Cara
pencegahannya :
a. Interaksi Obat Diare Dengan Beberapa
Obat Dan Cara Pencegahannya
1.
Adsorben
dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara
bersamaan maka efek digoksin dapat berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan
tubuh untuk menyerap digoksin,digoksin adalah obat yang digunakan untuk mengobati
layu jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur.
Akibatnya: Kondisi penderita tidak terkendali dengan baik,untuk mencegah
interaksi ini jarak penggunaan digoksin dengan adsorben tidak boleh kurang dari
dua jam.
2.
Adsorben
dengan klindamisin/lincomisin
Bila digunakan secara bersamaan maka
efek dari klindamisin atau lincomisin bisa berkurang. Adsorben mengurangi
kemampuan tubuh untuk menyerap kedua obat ini,klindamisin maupun lincomisin
merupakan antibiotika yang dicadangkan untuk mengobati beberapa jenis infeksi
berbahaya jika penicillin tidak dapat digunakan atau jika pasien alergi
terhadap penisillin. Akibatnya: Infeksi yang sedang ditangani kemungkinan tidak
bisa sembuh. Untuk mencegah atau mengurangi interaksi sebaiknya adsorben
digunakan dengan jarak tiga atau empat jamdari waktu penggunaan antibiotika
ini.
3.
Difenoksilat(lomotil)
dengan digoksin
Bila digunakan secara bersamaan maka
efek dari digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus
difenoksilat menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh Digoksin digunakan untuk
mengobati layu jantung atau menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur
,Akibatnya efek samping merugikan terjadi karena terlalu banyak digoksin.
Gejalanya antara lain : mual,sakit kepala,tidak ada nafsu makan,gangguan
penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,atau takhikardia,dan aritmia
jantung. Efek ini dapat diperkecil bila obat jantung yang digunakan merupakan
obat yang mudah larut seperti lanoxin.
4.
Loperamida
dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara
bersamaan maka efek digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus
halus loperamida menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh. Digoksin digunakan
untuk mengobati layu jantung dan menormalkan kembali denyut jantung yang tidak
teratur. Akibatnya: Efek samping merugikan mungkin dapat terjadi karena terlalu
banyak digoksin. Gejalanya antara lain: Mual,sakit kepala,tak ada nafsu makan,
gangguan penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,takhikardia,aritmia jantung.
Efek ini dapat diperkecil bila bila obat jantung yang digunakan adalah obat
yang mudah larut seperti lanoxin.
b. Warfarin dan Simetidin
Interaksi
yang terjadi yaitu farmakokinetik (penghambatan enzim) Simetidin dapat
menghambat enzim hepatic yang terlibat dalam metabolisme dan klirens warfarin ;
jadi efek warfarin diperpanjang dan meningkat.
Makna
klinis yang terjadi adalah warfarin memiliki entang terapi yang sempit dan
penggunaan anti koagulan yang berlebihan dapat menyebabakan perdarahan yang
serius.
Saran
untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan nilai INR
(International Normalized Ratio) secara rutin dan bila mungkin mengurangi
dosis Warfarin. Pilihan lain dapat menggunakan antagonis H2 lain seperti Ranitidin yang tidak
berinteraksi dengan Warfarin.
c. Penghambat enzim pengubah angiotensin
dan diuretika hemat kalium
Interaksi
yang terjadi yaitu farkodinamik (gangguan kesetimbangan cairan dan elektrolit).
Penghambat enzim pengubah angiotensin
dan diuretika hemat kalium keduanya dapat meningkatkan kadar kalium dalam
darah.
Makna
klinis yang terjadi yaitu kombinasi obat ini, bersama dengan gagal ginjal
(renal failure) dan dehidrasi dapat menyebabkan hiperkaliemia. Hal ini dapat
mengancam jiwa, mnyebabkan aritmia jantung (cardiac arrhythmias) dan akhirnya
asystolic cardiac arrest.
Saran
untuk interaksi ini dengan diuretika hemat kalium harusnya diberikan bersama
dengan penghambat enzim pengubah angiotensin, kecuali jika kadar kalium dalam
darah dipantau dengan baik. Bila perlu dosis dikurangi, atau salah satu obat
dihentikan pemakaiaannya, misalnya dengan menggunakan loop diuretic (yang dapat
menyebabkan hipokalemia) dan pertimbangkan pula untuk menggunakan kaptopril(
penghambat enzim pengubah angiotensin yang hasil kerjanya pendek)pada pasien
yang fungsi ginjalnya jelek
d.
Digoksin
dan amiodaron
Interaksi
yang terjadi farmakodinamik yaitu(meskipun belum diketahui secara pasti). Amiodaron mengurangi ekskresi
digoksin baik yang melalui ginjal maupun yang bukan ginjal, amiodaron
menyebabkan pendesakan digoksin dari jaringan dan tempat ikatan protein plasma.
Makna
klinis yang terjadi yaitu meningkatkan kadar digoksin dalam darah. Interaksi
ini terdokumentasi sebagai interaksi klinis yang penting. Hal ini terjadi
setelah beberapa hari dan berkembang dalam waktu 1 sampai 4 minggu. Kadar
digoksin dalam darah normal berkisar antara 0,8 – 2,0 mg/L. Jika kadar digoksin dalam darah
lebih besar dari nilai normal maka akan terjadi toksisitas digoksin (
anoreksia, mual, muntah, diare, aritmia, gangguan penglihatan, kebingungan dan
penyumbatan jantung.
Saran:
dosis digoksin perlu diturunkan hingga 1/3 atau ½ nya bila amiodaron diberikan
pada pasien dengan pengobatan digoksin. Kemudian dilakukan penyesuain dosis
kembali sesudah 1 atau 2 minggu atau satu bulan, oleh karena itu efek interaksi
ini akan menetap untuk beberapa minggu setelah penghentian amiodaron.
Pengurangan dosis amiodaron mungkin diperlukan tetapi harus dilakukan secara
perlahan – lahan dan bertahap turun setiap minggunya dan disesuaikan dengan
kondisi dan pasiennya.
e.
Eritromisin
dan teofilina
Tipe
interaksi obat : Farmakokinetik (penghambatan enzim). Eritromisina menghambat
metabolisme teofilina oleh hati; oleh sebab itu eritromisina mengurangi klirens
teofilina dan meningkatkan konsentrasi teofilina dalam darah.
Makna
klinis : Efek ini telah terdokumentasi dengan baik dan sudah dikenal. Pasien
tertentu mempunyai resiko tinggi menghasilkan kadar teofilina tinggi dalam
darah. Pasien yang kadar teofilin dalam darahnya sudah tinggi atau pasien yang
memperoleh pengobatan dengan teofilina dosis tinggi, merupakan pasien berisiko
tinggi. Teofilina mempunyai rentang
terapi sempit; konsentrasi teofilina dalam plasma berkisar antara 10 –
20 mg/liter diperlukan untuk memperoleh efek bronkodilatasi yang memuaskan.
Kadar teofilina dalam plasma yang lebih besar dari nilai tersebut dapat
menyebabkab toksisitas, misalnya takikardia, palpitasi, mual, gangguan
pencernaan, insomnia, aritmia dan konvulsi.
Saran
: pemantauan kadar teofilina dalam darah diperlukan untuk menentukan
apakahpasien tersebut berisiko mengalami keracunan akibat interaksi obat.
Dokter seharusnya diberitahu untuk memantau kondisi pasien dan memperhatikan
bilamana pasien tersebut mualdan muntah. Disarankan untuk mengurangi dosis
teofilina bila pasien tersebut memperoleh pengobatan dengan eritromisina, namun
semuanya bergantung pada kadar teofilina dalam darah.
f. Makanan yang mengandung kalsium dan
tetrasiklin
Tipe
interaksi obat :: Tetrasiklin mempunyai afinitas yang kuat pada kation divalen
dan trivalen. Kation kation tersebut
meliputi ion kalsium (Ca2+) yang terdapat dalam makanan yang
mengandung kalsium (juga dalam susu); Ion aluminium dan magnesium yang terdapat
dalam antasida dan ;ion besi ,yang terdapat dalam multivitamin. Kelat
(chelates) yang jadi akibat interaksi ion- tetrasiklin misalnya kelat kalsium
tetrasiklin, lebih sulit diabsorbsi dari saluran pencernaan. Jadi kadar
tetrasiklin dalam plasma lebih rendah dan aktivitas antibakterinya berkurang.
Makna
klinis : merupakan interaksi yang sudah dikenal. Pengurangan kadar tetrasiklin
dalam plasma dapat mencapai 50-80 %, menghasilkan efek antibiotika yang dapat
diabaikan (tidak efektif).
Saran : pemberian tetrasiklin dan
makanan yang mengadung kalsium (atau antasida yang mengandung kalsium, aluminium,
magnesium) harus dipisah. Biasanya, pasien disarankan untuk minum tetrasiklin
satu jam sebelum makanan. Untuk mengatasi efek iritasi pada lambung, pasien
disarankan untuk minum banyak air. Sebagai tambahan ada kemungkinan organisme
penyebab infeksi sensitif terhadap antibiotika
yang lain, sehingga lebih baik menggunakan antibiotika lain daripada
menggunakan tetrasiklin.
Pasien Yang Rentan Terhadap Interaksi
Obat
·
Orang
lanjut usia
·
Orang
yang minum lebih dari satu macam obat
·
Pasien
yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
·
Pasien
dengan penyakit akut
·
Pasien
dengan penyakit yang tidak stabil
·
Pasien
yang memiliki karakteristik genetic
tertentu
·
Pasien
yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
Pasien
lanjut usia mempunyai resiko yang lebih tinggi , karena :
·
Lebih
berkemungkinan memperoleh terapi berbagai macam obat sehingga berpotensi
gangguan fungsi ginjal dan hati.
·
Kepatuhan
pasien yang kurang
·
Adanya
gangguan degenerative yang mempengaruhi banyak sistem dan mengganggu mekanisme
kompensasi homeostatic.
Contohnya,
obat golongan diuretic dapat mengurangi ekskresi litium, pasien dapat
distabilisasi dengan baik pada pengobatan kombinasi. Tetapi penyakit ikutan
yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah kadar
litium dalam plasma, sehingga menyebabkan hilangnya efek atau toksisitas
litium.
Penanggulangan interaksi obat
1.
Penambahan
senyawa dari makanan
Contoh
:
-
Fenitoin
dengan vitamin D dapat menyebabkan efek vitamin D berkurang, akibatnya terjadi
defisiensi yang menimbulkan riketsia pada anak-anak. Cara penanggulangannya
adalah memakan makanan yang kaya vitamin D dan cukup terkena sinar matahari.
2.
Mengeluarkan
obat dari saluran cerna dengan cara merangsang muntah atau emesis, lavage,
laksansia dan adsorben (contoh : norit, bersifat menyerapa racun dan zat-zat
lain dilambung).
3.
Dialisis
Adalah
suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk menghilangkan atau
mengurangi zat-zat sisa metabolisme yang berbahaya
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Stockley, I.H., 1999, Drug Interaction, fifth edition, Pharmaceutical
Press, London
3.
http://www.i-base.info/itpc/Indonesian/spirita/docs/Lembaran-Informasi/LI419.pdf diakses tanggal 10 mei
2009
5.
http://mediapenunjangmedis.dikirismanto.com/interaksi-obat-pada-penanganan-diare.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar